Lihat ke Halaman Asli

Indonesia dalam Perbudakan Energi

Diperbarui: 14 Oktober 2024   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 1 Produksi Minyak Bumi di Indonesia (1973-2024) (macrotrends, 2024)

Pendahuluan

Adanya bahan bakar bersubsidi yang sering disebut dengan Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi salah satu bentuk stimulus pemerintah dalam meningkatkan ekonomi di Indonesia. Pada penelitian yang dilakukan oleh (Muhammad Handry Imansyah, 2023) menyatakan bahwa BBM subsidi meningkatkan penghasilan rumah tangga sampai dengan 20%. Isu pembatasan BBM bersubsidi yaitu petralite yang diwacanakan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia pada 1 Oktober 2024 akan mempengaruhi secara langsung pada perekonomian nasional (CNN Indonesia, 2024).

Hal ini tidak terlepas daripada isu global yaitu meningkatnya ekskalasi konflik di Timur Tengah dan kurangnya kemampuan negara Indonesia sendiri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi minyak bumi di Indonesia. Meningkatnya ekskalasi konflik di Timur-Tengah seperti Iran-Israel yang mendorong adanya kenaikan harga minyak dari US$88 per barrel menjadi US$90 per barrel (Tempo, 2024). Hal ini diakibatkan terganggunya rantai pasokan minyak dunia, selain itu ekskalasi dari minyak dunia juga meningkatkan adanya kenaikan harga Surat Berharga Negara bertenor 10 tahun (SBN) senilai 6,88% dan juga adanya Gerakan untuk mengambil instrument investasi yang lebih aman seperti emas dan dollar U.S. Hal ini memukul rupiah lebih lemah lagi dan berimbas pada peningkatan subsidi dibidang energi dari IDR50 Trilliun menjadi IDR110 Trilliun. Dan tentus saja berakibat pada defisit fiskal dan terusnya melemahnya nilai rupiah (Ariesy Tri Mauleny, 2024).

Ketidakmampuan Indonesia dalam memproduksi minyak sendiri menjadi permasalahan utama dalam kasus ini. Dalam sejarah Indonesia, industry minyak merupakan industry yang sangat penting. Pada periode 1974-199an perekonomian Indonesia dapat tumbuh dan meningkat rata- rata ekonomi nasional. Namun, setelah 1990-an produksi minyak mentak mengalami trend penurunan yang terus-menerus karena kurangnya eksplorasi dan investasi di sektor ini (Indonesia-investments, 2024).

Setelah tren penurunan yang dialami pada tahun 1990-an Indonesia terus gagal memenuhi kebutuhan konsumsi nasionalnya sejak 2004 dan akhirnya menjadi negara yang mengimpor minyak sampai dengan hari ini. Indonesia sendiri pada tahun 2022 memiliki konsumsi Energi sebesar 1,585,00 barrel per hari yang artinya hampir 3 kali lipat dibandingkan produksi minyak perhari yang bisa disediakan oleh Indonesia (Mona Siahaan, 2023).

Hal ini sangat tidak sebanding jika melihat konsumsi Indonesia terhadap Minyak bumi yang terus meningkat dari tahun ke tahun sama sekali tidak diimbangin dengan produksi minyak bumi yang meningkat juga dan kencederungan yang terlihat adalah menurunnya produksi minyak bumi di Indonesia. Pada Gambar 3 Cadangan minyak bumi dari 8.21 miliar barel pada 2008 turun ke kisaran 3.8 miliar barel di tahun 2019.

Gambar 2 Konsumsi dan Produksi Minyak Bumi 2009-2019 (KESDM, 2019)

Menurunnya jumlah produksi minyak Indonesia yang menurun tidak lain juga karena eksplorasi dan juga pengembangan dalam bidang energi yang tidak mendapatkan perhatian dan dorongan dari pemerintah ataupun investor, hal ini bisa dilihat dari data yang didapatkan dari kementrian ESDM pada tahun 2022. Reserve to Production terdapat pada kisaran 9 tahun. Hingga saat ini, hanya sekitar 42% dari total 128 cekungan migas yang telah dieksplorasi dan diproduksi. Dari jumlah tersebut, 19% atau 18 cekungan sudah berproduksi, 9% atau 12 cekungan telah dibor dan ditemukan minyak, sementara 24% atau 24 cekungan sudah dibor tetapi tidak menghasilkan minyak. Masih ada 58% cekungan yang belum dieksplorasi untuk mengetahui potensi cadangan migasnya. Pada tahun 2019, produksi nasional minyak dan kondensat mencapai 745,1 Mbopd, turun sebesar 26,96 Mbopd dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 772,1 Mbopd. Penurunan produksi alamiah diperkirakan dapat dikendalikan antara 3-5% per tahun. Terdapat enam tantangan utama dalam mencapai target produksi migas pada tahun 2019, yaitu penurunan laju produksi yang lebih cepat dari perkiraan, hasil pemboran yang tidak sesuai harapan, kondisi cuaca yang menghambat kegiatan operasional, gangguan operasional, dan masalah curtailment produksi terkait isu komersial (SKK Migas, 2015).

Gambar 3 Investasi Hulu Migas 2016-2021 (ESDM, 2022)

Pada Gambar 3 Investasi migas di Indonesia yang masih didominasi oleh bidang produksi, hal ini mencerminkan bahwa pemerintah hanya berfokus dalam investasi dibidang mengeksploitasi sektor produksi yang dimiliki oleh kilang-kilang minyak dibandingkan mengembangkan teknologi untuk memproduksi kilang minyak ataupun mengeksplorasi Cadangan minyak Indonesia itu sendiri. Jika berbicara soal potensi Cadangan minyak di Indonesia, Indonesia memiliki Cadangan minyak yang cukup besar namun belum di eksplorasi dengan baik oleh sebab itu kurangnya dorongan investasi dibidang migas berpengaruh secara signifikan rendahnya angka produksi minyak dan gas di Indonesia.

Gambar 4 Peta Cadangan Minyak Bumi Tahun 2019 (Bayu Prasetya Putra, 2021)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline