Lihat ke Halaman Asli

Ketua Umum MI Lampung: Tapera tidak pernah menjadi solusi

Diperbarui: 10 Juli 2024   14:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 1 Indeks kenaikan properti di tahun 2019-2023 (datanesia, 2023)

Pendahuluan
Tabungan Perumahan Rakyat yang disebut disebut dengan Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Tabungan Perumahan Rakyat, 2020). Tapera dikelolah oleh Badan Pengelolah TAPERA yang selanjutnya akan diawasi oleh OJK. Komite Tapera sendiri akan bertugas dalam dalam merumuskan kebijakan umum dan strategis dalam pengelolahan Tapera.
Tapera dibuat dengan tujuan untuk memudahkan masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan untuk rumah. Hal ini didasarkan dari tingginya rumah yang ada dikota-kota besar seperti Jabodetabek, Jogja, dan kota lainnya.

 
Kenaikan ini tidak dibarengi dengan angka daya beli Masyarakat yang mengakibatkan rendahnya kemampuan masyarakat untuk memiliki rumah pribadi dan adanya rumah fenomena ini didorong dengan sektor keuangan yang diperkirakan akan menjadi lebih lesu dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemulihan pasca-pandemi, konflik Russia-Ukraina, sampai Konflik di kawasan Timur-Tengah mempengaruhi stabilitas ekonomi nasional. Ketidakpastian ekonomi ini mendorong setiap pihak untuk menukarkan rupiah mereka dengan dolar AS untuk menjaga aset mereka. Hasilnya nilai tukar rupiah anjlok terhadap dolar AS karena tingginya permintaan pasar dan banyaknya uang rupiah yang beredar.

Gambar 2 Grafik kenaikan nilai dolar US pada 31 Mei 2024 (Erlina F. Santika, 2024)

Tingginya nilai tukar rupiah terhadap dolar US pada akhirnya juga memberatkan APBN Indonesia dalam melakukan rasionalisasi pada kas APBN Melansir Katadata, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, pelemahan rupiah akan berdampak terhadap peningkatan belanja negara seperti pembayaran bunga utang, subsidi, dan kompensasi energi, serta dana bagi hasil (DBH) migas akibat perubahan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas. Dengan adanya kenaikan dolar US akan membebankan ekonomi nasional. Berdasarkan indikator makroekonomi pada APBN pelemahan rupiah Rp100 per dolar AS dapat mendorong peningkatan belanja negara sebesar Rp10,2 triliun, termasuk untuk tambahan pembayaran bunga utang dan subsidi. Di saat yang bersamaan, kondisi ini juga mendorong peningkatan penerimaan negara sebesar Rp4 triliun sehingga dampak terhadap tambahan defisit APBN mencapai Rp6,2 triliun. Dengan rata-rata nilai tukar rupiah dari awal tahun hingga 14 Juni 2024 berkisar pada posisi Rp15.859 per dolar AS, maka terdapat kenaikan belanja negara sebesar Rp53,3 triliun (Erlina F. Santika, 2024a).
Dengan masalah ini, Bank Sentral BI mengambil kebijakan untuk menaikan suku bunga Bank untuk mengendalikan laju inflasi dan menahan kenaikan dolar US. Terhitung pada April 2024 sudah mencapai 6.25% dan merupakan yang tertinggi dari 8 tahun terakhir. Dengan tingginya suku bunga ini jelas adanya permasalahan dibidang kredit dan juga likuiditas. Masyarakat Indonesia menghadapi ancaman serius terhadap kelesuan ekonomi dan juga pelemahan sektor-sektor komuditas, hal ini bedasarkan asumsi jika suku bunga tinggi maka pengusaha akan dibebankan untuk membayar bunga kredit yang jauh lebih besar dan akan memperberat para pengusaha untuk mengekspansi bisnis mereka pada skenario awal. Tapi pada skenario terburuk para pengusaha akan melakukan PHK untuk meringankan biaya pengeluaran didalam ketidakpastian ekonomi untuk menjaga keuangan tiap perusahaan (Halifah Anggie Safie Luhfiana, 2022).

Lesunya Ekonomi Nasional
Lesunya ekonomi juga dibuktikan dengan adanya penurunan dibidang lain seperti jual-beli otomotif sampai pada Maret 2024. Volume jual-beli kendaraan di Indonesia anjlok 16,83% dibandingkan pada Maret 2023 (year-on-year/yoy) yang mencapai 101.272 unit. Sedangkan, pada maret 2024 jumlah kendaraan mobil yang masuk ke pasar domestik hanya sekedar 74.724 (Nabilah Muhamad, 2024).

Gambar 3 Volume penjualan Mobil bulanan di Pasar Domestik (Nabilah Muhamad, 2024)


Dengan lesunya ekonomi nasional seperti saat ini, maka menjalankan Tapera membutuhkan pertimbangan yang lebih dalam lagi. Bedasarkan PP Nomor 25 tahun 2020 seluruh pekerja yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta dengan besaran Simpanan yang diwajibkan 3% dengan sebesar 0,5% ditanggung perusahaan dan 2,5% diwajibkan kepada pekerja. Mekanisme kepersetaan Tapera sendiri yang didapatkan diberikan kepada pekerja yang berpenghasilan bersih maksimal Rp8 juta perbulan, belum memiliki rumah, dan memiliki keanggotaan minimal 12 bulan dan hanya diperuntukan untuk perumahan KPR. Untuk peserta Tapera yang tidak memenuhi syarat akan tetap diwajibkan dengan dana akan ditumpuk oleh pengelolah Tapera yang akan diputar pada manager investasi yang akan ditampung instrumen investasi deposito perbankan, surat utang pemerintah pusat, surat utang pemerintah daerah. Hal ini diharapkan juga mampu untuk menahan laju inflasi dan mengotrol suku bunga acuan yang akan digunakan dalam kredit. Secara mekanisme maka bisa dikatakan konsep Tapera mampu untuk menahan laju inflasi dan membantu meringankan beban ekonomi. Tapi, menjadi permasalahan apakah program ini tepat sasaran atau tidak.

Tapera dan Problematikanya
Tapera didahului oleh Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (BAPERTARUM-PNS) yang didasarkan Keppres no. 14 Tahun 1993 dan ditetapkan pada tanggal 15 Februari 1993. Pada awalnya, tugas BAPERTARUN-PNS adalah mengemban tugas untuk membantu membiayai usaha-usaha peningkatan kesejahteraan PNS dalam bidang perumahan baik PNS Pusat maupun Daerah dengan melakukan pemotongan dari gaji masing-masing PNS dan mengelola Tabungan perumahan PNS tersebut. Program inilah yang menjadi cikal-bakal adanya tapera dengan diterbikan UU No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat yang selanjutnya mekanismenya diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang penyelanggaraan Tapera. Tapera adalah program yang secara sederhana adalah sistem menabung yang wajib dengan pemerintah sebagai sentral dalam mengatur keuangan para peserta. Problem utama dari program ini adalah tumpeng tindihnya dengan program-program lainnya, bedasarkan Permenaker no 19 tahun 2015 Jaminan Hari Tua (JHT) memiliki kesempatan untuk dicairkan sebelum 56 tahun yang bisa digunakan untuk kepemilikan rumah yang diberikan mencakup 30% ataupun sudah ada potongan lain seperti pajak penghasilan pasal 21 atau yang disebut dengan PPh 21 yang merupakan potongan sekitar 15% untuk pekerja. Hal ini jelas akan memberatkan pekerja khususnya yang bekerja masih bekerja dalam kisaran UMR karena potongaan yang hampir 20% dengan fungsional yang masih tumpang tindih dalam menjalakannya (BBC, 2022).
 

Program Tapera juga sebelumnya sudah dilakukan di negara dibeberapa negara seperti di Singapura, Malaysia, dan Filipina. Pada program di Singapura dinamai dengan program Central Provident Fund (CPF), konsep yang dibawakan diperuntukkan bagi program perumahan Masyarakat sehingga pemerintah memiliki kekuatan dan dukungan dana yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan perumahan. Iuran yang dibebankan tiap pesertapun sampai 37% dari gaji bulanan, dengan komposisi tanggungan pekerja sebessar 20% dan pemberi kerja 17%. Perbedaan CPF dengan Tapera sendiri adalah jangkauan dari CPF yang sudah termasuk biaya keamanan, Kesehatan, perumahan, dan pensiun. Program yang diinisiasi oleh pemerintah Singapura ini diresmikan pada tahunn 1955 merupakan tonggak kebijakan sosial ekonomi Singapura yang mempengaruhi hampir seluruh kehidupan Masyarakat Singapura (Mungkasa et al., 2013).
 

Gambar 5 Aliran Dana Skema Pemilikan Rumah CPF (Central Provident Fund, 2010)

Perbedaan jelas dengan Tapera di Indonesia dimana Tapera hanya berfokus kepada pihak yang Middle Lower income saja. Survey yang dilakukan kepada anggota CPF, mereka menyatakan bahwa CPF yang memungkinkan mereka mempunyai rumah. Per-tahun 2009, lebih dari 1,5 juta anggota atau 47% dari anggota CPF memiliki rumah sendiri dengan memanfaatkan dana CPF. Sejumlah S$131 miliar telah dimanfaatkan dari dana CPF untuk kebutuhan ini, CPF berfungsi sebagai sumber dana pasar kredit perumahan di Singapura, dan merupakan penggerak utama kepemilikan rumah yang mencapai tingkatan melibih 90%. Bahkan, pada tahun 2003, diantara rumah tangga dengan pendapat 20% terendah yang bertempat tinggal di rummah publik, 87% merupakan pemilik rumah (Mungkasa et al., 2013).


Komisioner BP Tapera Heru Pudjo Nugroho menyatakan bahwa Tapera tidak akan memberikan pinjaman kepada peserta namun untuk memastikan suku bunga flat 5% (Sinta Ambarwati, 2024). Hal ini tentu bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia yang mengatur bahwa jumlah uang beredar dan atau Suku bunga menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat umum yang pada dasarnya adalah kenapa masyarakat umum harus ikut bertanggung jawab dengan mengatur suku bunga dan bukan pada tanggung jawab pemangku kebijakan moneter dan juga fiskal (Sinta Ambarwati, 2024).
Selain permasalahan tersebut, permasalahan lain adalah dengan backlog yang terjadi di Indonesia. Dalam istilah properti, backlog pada perumahan merupakan kondisi kesenjangan antara total hunian terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan oleh Masyarakat, termasuk angka rumah yang tidak layak huni. Menurut Badan Pusat Statitstik (BPS) dalam survei sosial ekonomi (Susenas) 2023 mencatat kesenjangan angka backlog kepemilikan rumah sepanjang 2023 turun 5,72% menjadi 9,9 juta unit dari tahun sebelumnya yaitu 10,5 juta unit (Maulina Ulfa, 2024).

Gambar 6 Jumlah defisit hunian di Indonesia (Maulina Ulfa, 2024)

Dengan adanya Tapera akses untuk mencapai mendapatkan pembelian rumah akan dipermudah dengan mekanisme yang dimuat. Namun, permasalahan fundamental yang ada pada pasar belum sepenuhnya diselesaikan. Sebagai contoh dalam ilmu ekonomi Supply-Demand dalam hal ini backlog mengisyarakat kekurangannya akses mendapatkan supply alih-alih menyelesaikan masalah tersebut pemerintah seperti mengambil jalan pintas dengan mempermudah akses untuk mendapatkan rumah yang artinya akan ada peningkatan permintaan pada pasar properti. Jika Kembali mengacu pada hukum Supply-Demand bisa dikatakan sekalipun Bunga cicilan KPR berhasil ditekan, muncul pertanyaan lain apakah pemerintah mampu untuk merasionalkan untuk harga rumah itu sendiri.

Integritas Pemerintah
Masalah lain yang muncul Ketika Tapera ini sendiri adalah Integritas pemerintah adalah rahasia umum untuk mengetahui bahwa Indonesia bukan negara yang bebas dari permasalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Indonesia masih punya permasalahan dengan kasus-kasus tersebut. Selain itu, Indonesia juga permasalahan birokrasi bedasarkan laporan Badan Pengawasan Keuangan (BPK) bahwa Tapera masih belum mengembalikan dana peserta sekitar 567 M ke pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi presepsi publik terhadap Tapera itu sendiri (Detik.com, 2024).
Secara langsung program tabung paksa Tapera melibatkan daripada kepercayaan rakyat kepada pemerintah selaku pihak pengelolah permasalah ini akan mempengaruhi presepsi publik apakah mereka akan menerima program ini atau tidak. Terhitung hari ini Indonesia mengalami penurunan dari posisi 110 pada 2022, turun ke posisi 115 pada tahun 2023.

Gambar 7 Indeks Presepsi Korupsi di Indonesia (Kompas, 2024)

)
Dalam menilai kualitas daripada kebijakan akan tepat sasaran atau tidak tentu analisis yang pertama adalah bagaimana kebijakan tersebut apakah dinilai mampu dalam masalah utama atau tidak, selanjutnya adalah apakah Solusi yang diberikan relevan atau tidak. Kebijakan Tapera dinilai terlalu memaksakan hal ini menjadi sebuah tantangan serius, tentu Masyarakat memiliki sebuah tuntutan serius untuk memiliki rumah hunian sendiri, namun apakah Solusi yang ditawarkan apakah bisa tepat sasaran atau tidak perlu menjadi sebuah kajian yang lebih mendalam dan diskusi ilmiah untuk membahas Solusi yang tepat pada permasalah tersebut.
Tapera adalah program yang sudah dilakukan beberapa negara tentangga di Indonesia. Namun, permasalahan bawaan lain seperti kasus-kasus kredit macet, ketersediaan properti, sampai korupsi masih menghantui program inisasi pemerintah ini. Negara Indonesia sedang mencapai titik terberat dalam penyaluran kesejahteraan rakyat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline