Tindakan teror terhadap anggota Polri terus berlanjut di Jakarta. Setelah dua anggotanya, Aiptu Dwiyatna (50) tewas ditembak pada tanggal 7/8/2013 dan Aipda Fatah Saktiono (53) luka-luka ditembak tanggal 27/7/2013 oleh orang tak dikenal.
Kini ada rumah anggota Polri (Ajun Komisaris Andreas Tulam) di Cipondoh Tanggerang yang ditembak. Dua penembakan pertama terjadi di Jl Otista Raya, didepan RS Sari Asih, dan di Jl. Cirendeu Raya dengan menggunakan senjata api kaliber 9 mm.
Sementara penembakan rumah Andrean dipastikan oleh polisi dengan senjata air soft gun. Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol. Rikwanto, dari olah TKP (Tempat Kejadian Perkara), ada dugaan kuat pelaku dua penembakan pertama adalah orang yang sama.
Modus juga sama, pelaku menguntit kedua anggota Polri hingga jarak dekat dan ditembak di kendaraan. Aipda Fatah ditembak dipunggung, sementara Aiptu Dwiyatna ditembak di kepala. Memang langkah intelijen taktis polisi nampaknya mengalami kemajuan dalam pengejaran, setelah mendapat hasil rekaman CCTV disekitar TKP.
Menurut Rikwanto, CCTV RS Sari Asih menunjukkan pelaku berboncengan sepeda motor dengan menggunakan helm full face. Kesimpulan sementara, pelaku menyasar korban secara acak, dan targetnya adalah anggota Polri. Sementara penembakan rumah Ajun Komisaris Andreas motifnya belum jelas.
Andreas adalah anggota Satuan Narkoba Polda Metro Jaya. Menjelaskan lebih lanjut ketiga kasus tersebut, Rikwanto memastikan ketiganya adalah teror terhadap polisi.
"Soalnya tidak ada motif karena tidak mengambil apa-apa. Ini teror" tegasnya. Terkait dengan ketiga fakta tersebut, Kapolda Metro Jaya menginstruksikan agar setiap polisi yang bertugas di Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi melepas atributnya ketika berangkat dan pulang saat malam atau dinihari.
Selain itu kalau bertugas agar tidak sendirian. Langkah polisi ini merupakan antisipasi pengamanan pribadi dalam menghadapi ancaman serius bersenjata.
Tetapi dilain sisi, apabila diukur dari ilmu pengetahuan tentang terorisme, efek serangan dapat dikatakan tercapai. Membahas kasus teror terhadap polisi di Jakarta dan sekitarnya, penulis mengajak pembaca kembali kepada teori intelijen dimana teror adalah sebuah ilmu kecabangan "conditioning."Terorisme adalah fenomena yang mengganggu.
Ini adalah sebuah mazhab/aliran kepercayaan melalui pemaksaan kehendak guna menyuarakan pesan, asas dengan cara melakukan tindakan ilegal yang menjurus ke arah kekerasan, kebrutalan dan bahkan pembunuhan.