Jenderal TNI (Pur) Agum Gumelar pada Jumat (29/1) menyatakan bahwa kelompok "Die Hard" akan terus mengganggu pemerintah. Pak Agum yang penulis kenal sebagai salah seorang senior intelijen, pernah bertugas sebagai salah satu Direktur pada Badan Intelijen Strategis TNI. Menurutnya, aksi parlemen jalanan jelas tidak lepas dari hasil pilpres 2009. Pasangan SBY-Boediono terpilih oleh 60% lebih suara saat pilpres 2009, sisanya sekitar 30% yang tidak memilihnya. Dari yang 30% tadi, kondisinya terbelah dua, satu pihak bisa melihat realitas politik dan satu kelompok lainnya masih belum menerima dan tetap berupaya mengganggu pemerintah. "Kelompok yang sifatnya die hard ini lah yang maju terus dan berupaya agar pemerintah segera berganti," kata Agum. Wajar katanya jika di negara demokrasi ada unjuk rasa, hanya dalam aksinya harus dikedepankan etika kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan sampai ada pemikiran untuk menjatuhkan pemerintah ditengah jalan. Ungkapan mantan pejabat intelijen seperti itu merupakan sebuah gambaran terhadap keadaan yang berlaku, pandangan realistis terhadap perkembangan situasi yang terjadi akhir-akhir ini. Inilah sebuah sisi intelijen dari mantan pejabat yang perlu mendapat perhatian. Dalam dua aksi besar demontrasi yang dilakukan pada tanggal 9 Desember 2009 serta 28 Januari 2009, sementara ini menurut penulis dapat dikatakan greget-nya dirasa tidak menggigit. Prof Tjipta Lesmana mengatakan bahwa banyak aktivis yang keliru membuat analisis. Pertama, mereka tidak paham betul bagaimana menjatuhkan kepala negara. Kedua, mereka terlalu menyederhanakan masalah. Dari sejarah, Presiden Soekarno dan Soeharto diturunkan oleh people power, Gus Dur dijatuhkan secara konstitusional. Pertanyaannya, apa dasar hukum maupun dasar logikanya untuk menjatuhkan Presiden SBY sekarang? Dalam aksi 28 Januari,yang lalu mahasiswa yang sering dimainkan sebagai faktor krusial nampak hanya sedikit mengambil bagian, jadi itu bukanlah people power murni. Selain itu faktor media massa yang menyerang SBY terpecah belah. Menjelang jatuhnya Soekarno, Soeharto dan Gus Dur, nampak media massa hampir seragam, melawan penguasa, ikut kepada aksi-aksi menjatuhkan regime. Tidak ada alasan kuat dan isu solid yang membentuk opini kearah itu. Pada era Soekarno, isunya adalah PKI, pada kasus Soeharto isunya KKN bak Gurita, pada Gus Dur, isunya konstitusi yang diinjak-injak. Pada era kini, isu yang dimunculkan adalah skandal Bank Century, yang diharapkan dapat dukungan kuat dari elemen rakyat untuk mengganyang SBY. Kenyataannya, opini publik terpecah belah. Ketua Umum Golkar Aburizal Bakri di hadapan ribuan kader dan simpatisan Golkar Provinsi Jambi, pada Jumat (29/1) mengatakan bahwa proses pemakzulan harus mengikuti ketentuan yang ada di Mahkamah Konstitusi. "Tergantung datanya, belum ada data pemakzulan terhadap Wapres," kara Aburizal. Upaya pemakzulan jelas bukan perkara mudah katanya. Ical membantah bahwa Golkar akan memakzulkan Wapres Boediono terkait kasus Bank Century. Sementara Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar menegaskan Golkar tidak pernah dan tidak ada niat memakzulkan Boediono, kecuali, nanti jika ditemukan data dan fakta adanya pelanggaran pidana, tindakan yang melanggar konstitusi atau merugikan negara. Pemakzulan Wapres Boediono, ongkos politiknya mahal, kata Priyo. Walaupun terdengar isu yang bergulir,memang ada petinggi Golkar yang menyebut tentang pemakzulan. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengungkapkan, ada lima hal yang bisa didakwakan dalam pemakzulan presiden atau wakil presiden. "Yaitu, korupsi, suap, kejahatan, pengkhianatan terhadap negara dan perbuatan tercela." Demikian diungkapkannya dalam acara pertemuan dengan pimpinan Perguruan Tinggi NU se-Indonesia, Jumat (29/1). "Tetapi itu harus didukung dua pertiga anggota DPR," katanya. Kata pemakzulan kini menjadi sangat populer dikalangan para aktivis dan politisi. Makzul artinya turun tahta, meletakkan jabatan, dalam bahasa Inggris wacananya sama dengan "impeachment." Nah dari beberapa perkembangan informasi tersebut, nampak semakin jelas bahwa memang ada kelompok yang menurut pandangan atau kacamata intelijen seperti yang disampaikan Pak Agum, yang akan terus mengganggu pemerintah. Jadi sangat wajar apabila demo terhadap pemerintah berpotensi akan terus terjadi. Dari apa yang disampaikan oleh Prof Lesmana, upaya "pressure" terhadap pemerintah untuk diturunkan masih jauh dari memenuhi syarat. Opini yang digulirkan tidak mampu membentuk sebuah opini nasional. Terlepas pendemo membakar foto presiden dan wapres, menuntut SBY turun, aksi dinilai seperti aksi sporadis dan terpecah belah. Sulit untuk menjatuhkan pemerintah dalam kondisi sekarang. Ada yang memunculkan pemerintah telah gagal total, dinilai bukanlah isu yang menyengat. Bagaimana dengan pemakzulan? Presiden dan atau Wapres bisa dimakzulkan apabila tersentuh salah satu dari lima syarat seperti yang disampaikan oleh Ketua MK Mahfud MD. Kemudian syarat lainnya apabila memang pantas dimakzulkan, proses pemakzulan harus disetujui oleh 2/3 anggota DPR. Dari 560 anggota DPR RI, partai koalisi pemerintah terdiri dari Partai Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP dan PKB. Kalau toh memang ada upaya pemakzulan, maka komposisi partai dengan jumlah anggota pendukung pemerintah adalah 423 anggota, lawan 137 anggota. Artinya, jumlah yang akan memakzulkan tidak akan memenuhi quorum 2/3. Kalaupun nanti terjadi skenario terburuk Golkar dan PKS melakukan pembelotan, kekuatan gabungan koalisi pendukung pemerintah yang tersisa hitungan kasarnya 260 anggota. Ini berarti kemungkinan terpenuhinya syarat 2/3 juga tidak akan tercapai, kekuatannya baru mencapai 56% Lagipula kini nampak Ketua Umum Golkar agak gentar menghadapi tekanan SBY yang mengatakan bahwa tidak ada celah bagi penunggak pajak, kewajiban bayar pajak harus dilaksanakan. Sementara diketahui bahwa perusahaan dibawah jaringan Aburizal Bakrie, menurut Dirjen pajak sedang disidik karena menunggak sekitar Rp 2,1 triliun. Oleh karena itu tekanan politik dari Partai Golkar terlihat agak melemah seperti yang dikatakan Ketua Umumnya. Jelas bargaining position pemerintah jauh lebih kuat dibandingkan Golkar. Maka bisa diperkirakan Golkar kemungkinan besar tidak akan melepaskan diri, tetap mendukung pemerintah. Perkiraan serangan pemakzulan diperkirakan akan lebih berat mengarah kepada Wapres Boediono. Dari beberapa informasi, terbaca bahwa ada beberapa potensi kesalahan yang bisa diarahkan kepada Boediono. Menurut Peneliti Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi, peluang pemakzulan terhadap Presiden SBY cuma selubang jarum, alias kecil. Dalam proses pemeriksaan pansus, hingga kini belum ditemukan bukti permulaan yang mengarah pada keterlibatan SBY. Selain itu benteng kekuatan politik koalisi masih akan mampu mempertahankan pemimpinnya tersebut. Tetapi kalaupun pemakzulan itu terjadi, jalannya jelas masih akan panjang. Untuk menjadikan kasus Bank Century sebagai kasus pidana, jelas harus melalui uji yuridis di Mahkamah Konstitusi. Dari pembahasan tersebut diatas, sementara dapat disimpulkan bahwa kekuatan pemerintah dalam melindungi diri dari sergapan dua arah masih terlihat tangguh. Demikian sementara ini beberapa perkembangan situasi yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Suatu hal yang perlu di waspadai, bahwa dalam politik, apapun bisa saja terjadi, kemungkinannya banyak. Oleh karena itu rumus kecerdasan, kecerdikan serta siapa yang memegang inisiatif dan lebih mampu membaca situasi, kemungkinan dia yang akan lebih mampu bertahan. Semoga bermanfaat. PRAYITNO RAMELAN, Penulis Buku Intelijen Bertawaf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H