Banyak negara di dunia meramaikan beragam perayaan dan khususnya di sejumlah negara yang berpenduduk mayoritas Kristiani, mereka merayakan Hari Valentine atau Valentine’s Day atau juga disebut Saint Valentine’s Day atau the Feast of Saint Valentine pada setiap tanggal 14 Februari.
Menurut sejarah, pada awal mulanya setiap tanggal 15 Februari pada tahun 496 Masehi, masyarakat selalu merayakan festival Lupercalia di Roma untuk selain menyambut musim semi (spring), juga untuk menghormati Dewa Faunus, Dewa Pertanian Romawi, dan pendiri Roma yakni Romulus dan Remus. Perayaan tersebut juga digunakan oleh kaum pria setempat memperoleh pasangan wanitanya melalui sistem undian. Lebih dari itu, kelompok Kristen pada masa itu menggunakan kesempatan tersebut untuk menyebarkan ajaran Kristenisasi kepada penduduk yang masih menganut agama Katholik.
Kemudian, Paus Gelasius baru mengubah Festival Lupercalia dengan perayaan Hari Saint Valentine pada abad ke-5. Namun di Inggris, Hari Valentine baru dirayakan pada abad ke-17, sedangkan di AS, hari tersebut mulai diperingati secara massal pada tahun 1840 saat seorang wanita AS bernama Esther Howland memelopori penjualan hadiah Hari Valentine dengan hasil kreasi ciptaan khasnya, yakni pita dengan hiasan bordir berwarna-warni yang dikenal dengan sebutan Memo yang kurang lebih bermakna peringatan. Itu dimaknai sebagai perayaan Hari Valentine yang sangat pertama di AS, sehingga wanita tersebut memperoleh julukan the Mother of the Valentine.
Menurut cerita, terdapat banyak versi dari alasan perubahan peringatan Hari Valentine dari 15 Februari ke 14 Februari. Namun banyak yang percaya bahwa perayaan tersebut adalah untuk mengenang seorang Pendeta Kristen bernama Saint Valentine asal Kota Terni yang hidup di Roma pada abad ke 3. Pendeta Santo Valentine terkena hukuman mati atas perintah Kaisar Claudius II Gothicus pada tahun 270 Masehi, karena selalu menentang sabda Kaisar Romawi dan dengan diam-diam terus menikahkan pasangan dan melindungi para suami dari kewajiban pergi berperang bersama pasukan Kaisar, sehingga dia dihukum pancung di luar Roma pada tanggal 14 Februari. Hal ini juga karena titah Kaisar Claudius bahwa seorang prajurit akan lebih baik masih bujang daripada prajurit yang telah beristri dan berkeluarga. Sebelum dibunuh, dia sempat membubuhkan tandatangan pada surat dengan kata-kata ‘From your Valentine’ yang ditujukan, konon, kepada anak Kaisar yang dicintainya dan juga ada yang percaya kepada anak rekan satu penjaranya. Dari situlah ungkapan perayaan Hari Valentine dikaitkan dengan perasaan cinta dan kasih sayang. Sejak itu, banyak pemeluk Katholik yang berpindah agama ke Kristiani. Menyadari hal itu, Kaisar Romawi Claudius-II menerapkan aturan-aturan ketat bagi penduduknya yang berpindah agama.
Hingga kini, perayaan Hari Valentine ditandai dengan simbol berupa pita dan kalung serta kado berbentuk hati sebagai pertanda bukti cinta kasih sayang kepada pasangannya, pacarnya, keluarganya, sanak saudaranya dan teman-temannya. Selain itu, kebiasaan mengirim kartu ucapan, hadiah, janjian untuk bertemu dengan pacar, mitra, teman, di samping pelayanan gereja, bahkan terdapat manisan yang menonjol yakni coklat berukuran besar mulai dari setengah kilo hingga dua kilo. Selain itu, ada boneka Cupid atau Dewa Asmara Romawi yang diambil dari kisah mitologi Yunani bernama Eros (cinta).
Masyarakat Eropa, khususnya Inggris dan Perancis mempercayainya sebagai awal musim kawin burung yang mengartikan Hari Valentine sebagai hari yang penuh romantisme. Sedangkan di AS, Australia, Argentina, Meksiko, Korea Selatan dan Kanada, hari tersebut dirayakan secara meriah. Di Filipina, Hari Valentine dirayakan dengan penuh makna sebagai hari pernikahan yang sarat berkah, seperti pernikahan massal.
Bagaimana dengan di Indonesia? Hingga kini belum ada kejelasan kapan Hari Valentine mulai masuk ke Indonesia, karena pada jaman pendudukan Portugis, Belanda dan Inggris yang sekian lama bercokol di wilayah bumi pertiwi, tidak pernah ada cerita perayaan Hari Valentine waktu itu. Diperkirakan awal 1990-an terutama sejak Orde Baru jatuh, Hari Valentine terasa mulai dirayakan di Indonesia, terutama setelah Era Reformasi yang penuh dengan keterbukaan dalam berekspresi berkembang di Indonesia. Di Papua Barat, khususnya di Manokwari yang dikenal sebagai Kota Injil, hari tersebut dirayakan oleh kalangan remaja setempat dengan kegiatan masing-masing.
Sejatinya, karena hari tersebut adalah untuk merayakan pengungkapan kasih sayang, sedangkan dalam keyakinan Kristiani kasih sayang itu selalu terjadi setiap hari, seperti halnya Natal yang diyakini bahwa Natal atau damai itu ada setiap hari, maka cara merayakan Hari Valentine yang paling sehat dan menyenangkan tanpa harus melanggar budaya kita sebagai bangsa Indonesia dan masyarakat yang agamais adalah dengan kumpul keluarga baik untuk berdoa bersama dengan anggota keluarga lain, walaupun hal tersebut dapat dilakukan setiap saat dan tidak harus pada tanggal 14 Februari saja. Selain itu, perayaan dapat dilakukan di tempat ibadah masing-masing, berekreasi, menonton bareng (nobar), saling memberi hadiah dalam batas wajar dan tidak melanggar norma kesusilaan. Bahkan akan lebih bermakna jika mereka yang meyakini Hari Valentine merayakannya dengan kegiatan bakti sosial (baksos) ke panti-panti jompo, rumah yatim piatu dan lapas-lapas atau kepada mereka yang kurang beruntung hidupnya, misal kelompok tuna-wisma dan rumah-rumah sakit serta pula rumah-rumah ibadah dan masyarakat miskin sekalipun berbeda keyakinan. Yakinilah bahwa Tuhan Maha Adil, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sekecil apapun perhatian yang diberikan akan bermanfaat dan bermakna besar bagi orang lain dan bermakna besar bagi yang merayakannya, mengingat tindakannya bersifat kemanusiaan dan seiring dengan keyakinan yang dianutnya. Kitab Injil Yohannes (7:11) berbunyi ‘Marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah, dan setiap orang yang mengasihi lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barang siapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.
Bagaimana dengan masyarakat Muslim? Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 3 Tahun 2017, masyarakat Muslim dilarang bahkan diharamkan hukumnya untuk merayakannya. Lebih jauh, Surat Al Imran (3:64) mengatakan bahwa Allah Subhanahuwata’ala berfirman penting bagi umat Muslim untuk mempertegas jati diri sebagai seorang Islam dengan berperilaku sesuai tuntutan serta menolak menyerupai identitas agama lainnya. Ditegaskan juga dalam sabda Rasulullah SAW bahwa barang siapa yang menyerupakan diri pada suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka (H.R. Abu Dawud).
Sekarang, terserah kepada masyarakat Indonesia untuk memilah mana perayaan yang baik dan cocok untuk mereka rayakan dengan tanpa merusak jati diri dan budaya bangsanya sendiri, karena kita ini bukan orang Eropa ataupun AS, namun bangsa Indonesia yang dengan kokoh berpijak pada falsafah luhur kehidupan bangsa yakni Pancasila.