Badannya kurus berkulit hitam dan rambut lurus berdiri mungkin karena dipotong pendek sesisir dan wajahnya terlihat sudah agak tidak simetris karena diserang "bells palsy" katanya, mengutip keterangan dokter yang pernah dikunjunginya.
Tapi sekarang mata sebelah kiri dan pipinya sudah bisa bergerak walaupun belum begitu normal seperti semula. Dan bicaranya pun lancar selancar dia menceritakan kisahnya menjadi seorang preman pasar di kota kami.
Kini perlahan dia mulai sadar atas semua tindakannya yang kadang tidak sesuai dengan kata hatinya yang paling dalam. Rasa gelisah dan bersalah selalu menghantui setiap dia pulang ke rumah.
Karena itu, tak jarang dia pulang dalam keadaan mabuk tuak atau kadang minuman botol seperti cocacola tapi dicampur brandy untuk mengatasi semua rasa gelisahnya itu.
"Kalo cocacola saja mana bisa mabuk bang," katanya bercanda.
"Kadang aku kasian melihat ibu ibu tua yang kumintai uang sementara jualannya pun mungkin belum ada yang laku."
"Sampai kubentak bentak bahkan kadang barang jualannya pun sempat kusepakkan."
"Begitulah dulu kejamnya aku menghadapi tukang jualan setiap hari minggu."
"Setelah itu aku kadang menyesal telah memperlakukan seorang ibu sekejam itu. Kubayangkan Seandainya lah, ibuku diperlakukan orang seperti itu bagaimana perasaanku."
Tatapannya kosong mengarah jauh ke puncak gunung seperti hendak menebus semua rasa bersalahnya.
"Tapi sejak aku menderita penyakit ini aku sudah mulai mengurangi kegiatanku di pasar dan kalau pun aku mengutip uang preman kulakukan dengan cara yang simpatik tidak main bentak bentak lagi." dia terus bercerita walaupun belum seratus persen memberhentikan kegiatannya itu.