Apakah Anda pernah bertemu dan bahkan menyentuh tubuh Sang Buddha? Mungkin Anda akan menjawabnya, "Tidak, karena Sang Buddha telah memasuki maha parinirvana." Ini adalah sebuah pola pikir yang banyak dianut orang dewasa ini: menganggap bahwasanya Buddha telah 'meninggal' dan oleh karena itu sekarang Buddha sudah tidak ada lagi, dan yang ada hanya ajaran beliau saja yang tertinggal.
Pola pikir demikian meninggalkan sebuah lubang besar di hati umat Buddha Indonesia karena Triratna bagi mereka sudah tidak lengkap lagi, hanya tertinggal Ratna Dharma dan Ratna Sangha. Lubang inilah yang rawan bisa diisi oleh klesha keragu-raguan dan bisa menjadi alasan utama orang-orang mulai banyak berpindah agama, mempertanyakan manfaat dari belajar Buddhadharma, merasa terpaksa kalau harus ke vihara dan sejenisnya.
Bagaimana seandainya Anda bertemu dengan Buddha? Bayangkan bahwa Buddha pada dasarnya setiap hari ada, hidup dan beraktivitas di dekat Anda. Mungkin terasa sulit? Akan tetapi, sebenarnya tidaklah sulit. Karena Anda memang sering bertemu dengan Buddha. Bahkan mungkin tidak hanya sekali, tapi bahkan berkali-kali sepanjang hari. Di manakah Anda bertemu dengan Sang Buddha? Jawabannya ada di altar, baik di rumah Anda ataupun di vihara.
Anda mungkin akan menyanggah, "Bukankah itu hanya patung Buddha? Meskipun Aku memberi hormat pada-Nya, tapi aku menghormati Sang Buddha yang disimbolkan oleh patung itu. Bukan patung itu." Jika Anda berpikir seperti ini, maka Anda perlu mempertimbangkan ulang hal tersebut dengan bercermin pada ucapan Buddha berikut:
"Jika seseorang dengan tulus menghormat padanya, maka patung atau stupa itu akan menjadi sama dengan kehadiranku sendiri, tanpa perbedaan sedikitpun." -- Sutra Pahala Memandikan Buddha Rupang (Taisho Tripitaka 698)
Dalam sutra tersebut, Sang Buddha mengatakan bahwa jika kita memberikan hormat pada patung Buddha (termasuk stupa), patung tersebut akan menjadi sama dengan kehadiran Sang Buddha itu sendiri tanpa perbedaan sedikitpun. Kuncinya adalah 'sraddha' yakni keyakinan. Penghormatan yang tulus akan terjadi secara otomatis jika keyakinan kita mampu berakar dengan kuat.
Poin ini juga dilukiskan oleh kisah seorang perempuan tua yang memperoleh relik Buddha asli karena keyakinannya kepada sebuah gigi anjing. Dikisahkan bahwa seorang perempuan yang tulus dari suatu keluarga kaya di Tibet memiliki seorang anak yang ingin berkelana ke India dengan seorang teman dalam ekspedisi dagang. Sang ibu tidak merelakannya pergi karena mereka sedang tidak membutuhkan uang. Akan tetapi, ketika sang anak bersikeras, sang ibu akhirnya mengizinkan setelah meminta anaknya berjanji untuk membawakan relik suci dari tanah di mana Sang Buddha pernah hidup. Maka sang anak pergi dan setelah tiba di India, cukup sukses dalam setiap transaksinya. Setelah menyelesaikan urusannya, ia kemudian berencana pulang ke Tibet.
Ketika hampir sampai di rumah, ia menyadari bahwa ia telah melupakan janjinya untuk memperoleh relik yang diminta oleh ibunya. Malu mengakui kelalaiannya, ia melihat bangkai anjing di pinggir jalan dan mengambil salah satu giginya. Ketika tiba di rumah, ia memberikan gigi itu kepada ibunya dan berpura-pura mengatakan bahwa itu adalah relik suci dari seorang Arahat. Sang ibu menaruh gigi itu di altarnya dan memujanya secara pantas. Beberapa saat kemudian, gigi itu memancarkan cahaya dan memberkahi perempuan tua tersebut karena keyakinannya yang mendalam, seakan-akan itu adalah relik asli.
Pada dasarnya, kita harus memahami bahwa kemampuan kita dalam mempersepsi objek adalah bergantung pada jenis skandha yang membentuk diri kita dan bagaimana cara skandha-skandha ('nama' dan 'rupa') tersebut bekerja. Ini pada gilirannya adalah sangat bergantung pada karma dan klesha kita. Sebagai contoh, seekor anjing (dengan skandha 'rupa'-nya yang berbentuk anjing dan kemampuan batin atau 'nama'-nya dalam mencerap objek) ketika melihat air comberan, tidak akan mempermasalahkannya dan akan meminumnya.
Berbeda dengan manusia yang akan mengidentifikasi air comberan yang sama tersebut sebagai kotor dan akan membuangnya. Demikian pula, sang anjing pun tidak akan bisa memahami betapa emas adalah barang yang sangat bernilai sedangkan manusia akan melihat emas sebagai sesuatu yang sangat berharga dan akan menyimpannya sebaik-baiknya.
Dengan logika yang sama, kitab-kitab suci menjelaskan bahwa simbol tubuh yang kita lihat dalam bentuk yang terbuat dari tanah liat, tembaga, dan material lainnya sebenarnya akan bisa dirasakan sebagai tubuh emanasi Buddha yang unggul pada saat batin kita telah mencapai kondisi konsentrasi arus Dharma ('dharmasrota samadhi') di Marga Penghimpunan. Lalu ketika kita mencapai tingkat Bodhisatwa pertama, simbol-simbol tubuh Buddha tersebut pun akan bisa terlihat sebagai tubuh kenikmatan yang sebenarnya dari seorang Buddha.