Lihat ke Halaman Asli

Praviravara Jayawardhana

Hanya seorang praktisi Dharma

Jika Sudah Bersalah, Masih Bisakah Dimaafkan?

Diperbarui: 27 Juni 2016   15:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kammassakomhi, kamma-dayado, kamma-yoni, kamma-bandhu, kamma-patisarano. Yam kammam karissami, kalyanam va papakam va, tassa dayado bhavissami-ti.”

“Aku adalah pemilik karmaku sendiri, mewarisi karmaku sendiri, lahir dari karmaku sendiri, berhubungan dengan karmaku sendiri dan berlindung pada karmaku sendiri. Apapun yang kulakukan, baik maupun buruk, aku akan mewarisinya.”

- Upajjhatthana Sutta (AN 5.57) –

Demikianlah bait dari Anguttara Nikaya yang cukup populer dikutip oleh kita ketika berbicara tentang karma. Dan dari sana, Tahapan Jalan Menuju Pencerahan pun menarik empat karakteristik umum dari prinsip kerja hukum karma yang diakui secara umum di dalam Buddhisme, yaitu:

  • Karma itu pasti,
  • Karma itu dapat berlipat ganda secara pesat,
  • Kita tidak akan menerima akibat/hasil dari karma yang tidak kita lakukan, dan
  • Karma yang telah dilakukan, tidak akan pernah kehilangan kekuatannya untuk berbuah.

Namun, setelah kita mengetahui dan mempelajari  teori-teori tentang hukum karma tersebut, pertanyaan berikutnya adalah: “Lalu apa? Then what? Lalu bgaimana ilmu ini dapat menolong saya dalam kehidupan sehari-hari saya?” Pertanyaan ini sebenarnya adalah ultimate question, pertanyaan paling penting, yang harus senantiasa kita ajukan setiap kali kita menimba ilmu. Bagaimana kita dapat membawa ilmu tersebut turun dari otak dan dimanifestasikan menjadi sebuah aksi dan tindakan yang nyata di dalam kehidupan sehari-hari.

Di dalam Sutra tentang Untaian Cerita-Cerita Kelahiran Bodhisatva (Jatakamala), disebutkan bahwa:

“Sungguh jauh perjalanan dari langit menuju ke bumi, lebih jauh pula jarak antara gunung di Timur dan gunung di Barat. Namun, sungguh lebih jauh lagi jarak antara perilaku kita dengan Dharma yang suci.”

Kutipan tersebut sungguh menohok. Karena memang demikianlah adanya kebiasaan kita-kita ini, selalu ada gap antara perilaku kita dengan idealisme-idealisme yang kita pelajari dari Dharma.

Ketika kita memiliki keyakinan yang kuat terhadap hukum karma, kita secara alami akan berusaha untuk menghilangkan aspek-aspek ketidakbajikan dari dalam hidup kita. Akan tetapi, meskipun kita berusaha keras, tetap saja ketidakbajikan selalu saja muncul dan mewarnai hidup kita, mungkin karena kecerobohan, mungkin pula karena klesha yang sangat kuat sehingga mengalahkan tekad kita sendiri. Secara mudah kita langsung merasa tidak senang dan membenci ketika dimarahi oleh boss. Secara otomatis kita menepuk nyamuk yang hinggap di leher. Secara refleks, kita mengucapkan kata makian ketika disalip mobil lain di lampu merah. Tanpa dapat ditahan, kita merasakan kemarahan yang luar biasa ketika ada yang mengejek orang tua kita.

Dan kalau sudah demikian, lalu bagaimana?

Umat Buddhis selalu menolak apabila konsep karma dijadikan alasan untuk mencap bahwa Buddhisme adalah sebuah cara pandang yang pesimis. Karena memang demikianlah adanya. Prinsip karma tidak boleh dilihat hanya dari aspek masa lalu, tapi juga harus dilihat dari aspek masa sekarang dan masa yang akan datang. Saat ini kita memang sedang menerima akibat dan hasil dari karma kita yang lalu namun pada saat yang bersamaan pula, kita sedang menghimpun karma di saat ini yang mana hasil dan akibatnya akan kita terima di masa yang akan datang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline