Lihat ke Halaman Asli

Praviravara Jayawardhana

Hanya seorang praktisi Dharma

Menelusuri Tahapan Jalan Menuju Pencerahan di Indonesia, India dan Tibet

Diperbarui: 16 Desember 2015   18:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejarah telah menunjukkan betapa maju kebudayaan bangsa Indonesia di masa lampau. Kisah kejayaan Nusantara di era kerajaan Hindu-Buddha yang dimulai abad ke-4 sampai abad ke-15, tercatat pula di dalam sejarah bangsa lain. Peninggalan-peninggalan berupa prasasti, tugu dan berbagai penemuan sejarah lainnya, menunjukkan adanya sebuah peradaban yang tinggi pada masa itu. Bahkan beberapa di antaranya menjadi situs sejarah yang diperbincangkan dunia, seperti Candi Borobudur peninggalan jaman Syailendra di abad ke-8, Candi Muara Takus dan Kompleks Candi Muaro Jambi peninggalan kerajaan Sriwijaya di abad ke-7 sampai 11 dan masih banyak lagi. Bahkan penemuan para ahli menunjukkan bahwa Sriwijaya adalah salah satu pusat belajar agama Buddha yang bereputasi dan banyak didatangi siswa dari berbagai negeri. Seorang bhiksu dari Negeri Cina, I-Tsing, yang berkunjung ke Sriwijaya tahun 671 dan kembali lagi pada tahun 687 dan 689 Masehi menulis tentang Sriwijaya dalam catatan perjalanannya bahwa “Jika bhikshu dari Cina ingin pergi ke India untuk mendengarkan dan mempelajari kitab-kitab ajaran asli, sebaiknya ia tinggal di sini (Sriwijaya) selama satu atau dua tahun untuk mempersiapkan dan melatih diri tentang cara-cara/aturan-aturan yang benar sebelum menuju (ke Nalanda di) India.”

Lama Serlingpa lahir dengan nama Shri Suwarnadwipa sekitar 950 Masehi di tengah-tengah keluarga Dinasti Syailendra, di sebuah pulau yang mendapat julukan Suwarnadwipa, yang memiliki arti ‘pulau emas’ karena selalu dipenuhi oleh bebatuan mahal yang indah, berikut logam mulia, emas dan sebagainya yang dibawa oleh kapal-kapal pedagang dari Cina, Arab dan Bengal. Kerajaan ini diberi nama Sriwijaya, nama yang bergaung hingga ke seluruh penjuru lautan. Raja-raja Dinasti Syailendra mempraktekkan berlindung pada Tiga Permata. Mereka membuat rupang dan tempat berteduh dan membangun pusat-pusat Dharma sebagai sumber dari mana ajaran itu disebarkan. Mereka menjalin hubungan dengan pusat pembelajaran India yang termahsyur, Biara Nalanda, yang oleh banyak orang masa kini diakui sebagai universitas tertua di dunia. Hingga akhirnya mereka membangun Candi Borobudur, mandala batu terbesar yang pernah dibangun di muka bumi ini, untuk menghormati Tiga Permata. Lama Serlingpa belajar di Biara Wikramasila India dan Beliau mewarisi dua garis ajaran yang sangat penting untuk pengembangan Bodhicitta, pikiran spontan menuju pencerahan, yaitu: “Instruksi Latihan Batin Tujuh Poin” dari Maitreya dan “Praktik Menukar Diri dengan Makhluk Lain” dari Manjushri. Lama Serlingpa Dharmakirti Suwarnadwipa ini lah Guru Akar dari Jowo Atisha, seorang Guru Besar dari India yang kemudian melakukan revolusi Buddhisme di Tibet dengan karya agungnya yang bernama “Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan” (Sansekerta: Bodhipathapradipa).

Guru Atisha Dipamkara Sri Jnana (abad ke-10), lahir di sebuah kota besar di Zahor, sebuah daerah di wilayah bagian timur India yang dikenal sebagai Bengal, sebagai anak dari Raja Kalyanasri. Setelah belajar pada banyak guru besar di India, Beliau kemudian mencari seorang guru yang memiliki suatu instruksi lengkap yang dapat membuatnya membangkitkan aspek-aspek dari batin pencerahan berharga yang belum dicapainya, mengembangkan lebih jauh apa yang telah ia miliki, dan akhirnya mencapai batin pencerahan dalam bentuknya yang sejati (Kebuddhaan). Atas dasar inilah Beliau kemudian mengarungi lautan selama 13 bulan untuk sampai ke Sriwijaya dan menetap di sana selama 12 tahun, demi belajar kepada Lama Serlingpa, sang pemilik dua silsilah instruksi yang lengkap untuk melatih batin pencerahan (Bodhicitta). Di bawah kaki Lama Serlingpa lah, Guru Atisha membangkitkan dalam batinnya sikap pencerahan yang sejati dan tanpa upaya yang menukar diri dengan orang lain. Lama Serlingpa juga secara resmi menyatakan muridnya ini sebagai seorang guru dari silsilah ajaran dan meramalkan bahwa Atisha akan pergi ke Tibet dan mendidik banyak murid di sana. Dan ternyata benar, atas dasar welas asihnya, Guru Atisha menerima sebuah undangan ke Tanah Bersalju di Utara (Tibet) untuk memurnikan kembali Ajaran Buddha di sana yang masa itu sedang mengalami kemerosotan karena terjadinya konflik antara penganut berbagai paham, yaitu: antara Sutra dan Tantra, antara Vinaya dan Mantrayana. Guru Atisha meringkas makna inti dari semua Sutra, Tantra, dan ulasan-ulasannya ke dalam karya agung Beliau, “Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan”. Segera setelah karya tersebut disusun, doktrin-doktrin yang salah dan praktik kasar yang selama ini berlaku di Tibet berakhir.

Sekitar 400 tahun kemudian, Je Tsongkhapa (Je Rinpoche) menegakkan kembali kemurnian ajaran Buddha di Tibet seperti yang dilakukan Guru Atisha, dengan karya besar Beliau berjudul “Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan” (Sansekerta: Maha-Bodhipatha-Krama, Tibet: Lamrim Chenmo) yang juga ditulis Beliau berdasarkan karya Guru Atisha. Je Rinpoche yang telah menerima transmisi ajaran dari semua tradisi yang berkembang di Tibet, berhasil menyatukan Sutra dan Tantra yang sebelumnya dipandang tak bisa bersatu. Beliau menjelaskan intisari ajaran Buddha Sakyamuni yang luas dan mendalam menjadi lebih mudah dipelajari oleh banyak orang karena pada dasarnya Lamrim adalah risalah ajaran Buddha Sakyamuni yang disusun secara sistematis dan terstruktur sehingga mudah dipraktikkan untuk menuntun setiap orang mencapai pencerahan sempurna.

Semua ini adalah adalah rangkaian sejarah yang menjadi bukti yang menunjukkan betapa eratnya koneksi Indonesia dengan Guru-guru Agung yang menyebarkan ajaran Sang Buddha di Tibet dan dunia. Ikatan yang kuat itu berlanjut sampai di kehidupan sekarang. Lamrim telah dipelajari di berbagai penjuru dunia termasuk di Indonesia saat ini.

Guru Dagpo Rinpoche Jhampel Jampa Gyatso, lahir tahun 1932, di Nandzong, sebelah tenggara dari Lhasa, ibukota Negara Tibet, di antara propinsi Kongpo dan Dagpo. Beliau masih belum berumur satu tahun ketika diidentifikasi oleh HH Dalai Lama Ketigabelas sebagai kelahiran kembali dari seorang Guru Besar yang garis kelahiran kembalinya dapat ditelusuri hingga ke Lama Serlingpa Dharmakirti Suwarnadwipa dari Indonesia. Ketika Beliau berumur enam tahun, Beliau memasuki kehidupan sebagai bhiksu di Biara Bamcho yang didirikan pada abad ke-11 oleh seorang Guru Besar Kadampa. Kemudian di umurnya yang ketigabelas, Beliau memasuki Biara Dagpo Shedrup Ling yang terkenal dengan standar pendidikannya yang tinggi dan disiplinnya yang ketat. Biara ini dibangun di abad ke-15 oleh salah seorang murid utama dari Je Rinpoche, dan terkenal dengan sebutan Biara Lamrim. Setelah berhasil mengungsi ke India ketika terjadi kerusuhan di Tibet pada 1959, Beliau kemudian pindah dan menetap di Perancis untuk mengajar di sana, sesuai dengan arahan dari HH Dalai Lama Keempatbelas. Kemudian di tahun 1989, Guru Dagpo Rinpoche pertama kali menginjakkan kakinya di bumi Indonesia atas undangan dari salah seorang muridnya. Di kunjungan perdananya ini, Beliau bertemu dengan Bhikkhu Girirakkhito, salah satu sesepuh dan perintis agama Buddha di Indonesia. Uniknya dalam pertemuan tersebut, Bhante Giri berkata sebagai berikut kepada Guru Dagpo Rinpoche,”Anda adalah pendiri Buddhisme di Indonesia. Anda harus mengurus anak-anak Anda yang tercerai-berai.” Di tahun yang sama ini, Guru Dagpo Rinpoche juga bertemu dengan Bhikkhu Sri Pannavaro yang kemudian berlanjut dengan terjalinnya persahabatan di antara keduanya dan Bhante Pannavaro memberikan sebagian abu Guru Atisha yang disimpannya kepada Guru Dagpo Rinpoche. Di kunjungan Beliau di 1990, Guru Dagpo Rinpoche juga bertemu dengan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, pelopor agama Buddha di Indonesia di awal abad ke-20, dan mempersembahkan kepada Bhante Ashin sebuah thangka (lukisan) Avalokiteshvara yang merupakan simbol Maha Welas Asih yang menjadi dasar pengembangan batin pencerahan (Bodhicitta), sebuah ajaran yang memiliki akar yang kuat di bumi Indonesia sejak jaman Lama Serlingpa. Semua pertanda baik ini disambut oleh Guru Dagpo Rinpoche dengan welas asihnya yang luar biasa dengan ditunjukkannya kekonsistenan Beliau setiap tahun datang mengajar tanpa lelah di Indonesia selama 26 tahun sampai sekarang, di usia Beliau yang sudah mencapai 84 tahun.

Banyak orang yang sudah mempelajari Lamrim, dapat merasakan manfaatnya. Tahap-tahapnya yang jelas dan terperinci membuat ajaran Sang Buddha yang begitu luas dan dalam menjadi lebih mudah dipahami dan dipraktikkan. Dengan semakin banyaknya orang belajar dan praktik Buddha Dharma, maka akan semakin besar potensi orang-orang untuk berubah menjadi lebih baik, sehingga lingkungan di sekitar pun akan menjadi lebih baik. Demikianlah Lamrim akan memberi manfaat bagi banyak orang, khususnya tanah air Indonesia. Lamrim akan menyebarkan energi positif yang mentransformasi makna kebanggaan bangsa menjadi motivasi untuk menjadikan Indonesia yang lebih baik dan juga dunia yang lebih baik. Semoga tanah Nusantara ini kembali menghasilkan guru-guru berkualitas tinggi seperti Swarnadwipa di jaman Sriwijaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline