Lihat ke Halaman Asli

Menanti Bergairahnya Kembali Investasi Hulu Migas

Diperbarui: 21 September 2016   07:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: dokpri@prattemm

Tahapan kegiatan industri minyak & gas bumi (migas) ada lima hal pokok yang terbagi menjadi dua, yaitu kegiatan hulu (upstream) dan kegiatan hilir (downstream). Tahapan eksplorasi & eksploitasi/ produksi ada dalam kegiatan industri hulu migas, sementara tahapan pengolahan, transportasi, pemasaran ada di kegiatan industri hilir migas. 

Kegiatan pengawasan & pengendalian usaha hulu  migas dilaksanakan lembaga negara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Industri migas masih menjadi tulang punggung pendapatan negara, ditengah tantangan kondisi semakin berkurangnya kegiatan industri hulu migas. 

Bagaimanakah perkembangan investasi hulu migas saat ini dalam memberikan kontribusi berkelanjutan bagi perekonomian nasional ? Semua hal ini  terjawab dalam diskusi interaktif Kompasiana Nangkring- SKK Migas bertemakan "Ada Apa dengan Investasi Hulu Migas?" , yang diselenggarakan pada 26 Agustus 2016 lalu di Rapampa Cafe - Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Narasumber yang hadir adalah Taslim Yunus (Kepala Bagian Humas SKK Migas) dan Meity Wajong (Direktur Eksekutif IPA-Indonesian Petroleum Association). Dikatakan oleh Taslim Yunus bahwa cekungan-cekungan (basin) di laut Indonesia secara geologis memiliki kecenderungan besar menghasilkan gas bumi dibandingkan minyak bumi. Ketika menyadari penggunaan minyak bumi sebagai pemenuhan kebutuhan energi kurang efisien, namun mengalami kendala besar ketidaksiapan infrastruktur distribusi/penyaluran gas saat kita hendak memanfaatkan gas yang relatif masih melimpah. 

Potensi gas bumi dalam skala besar ada di Pulau Natuna dan wilayah Indonesia Timur, namun pengguna gas bumi terbesar masih ada di Pulau Jawa. Akibat belum meratanya jaringan infrastruktur, tentu sebuah tantangan besar dalam pendistribusian gas dari wilayah Indonesia Timur menuju Pulau Jawa.

Hal lain yang menjadi kendala adalah penurunan produksi migas dengan sumur-sumur produksi yang sudah tua, serta semakin menipisnya cadangan migas yang berhasil ditemukan. Diperkirakan mulai tahun 2019 hingga 2025 akan terjadi penurunan minyak dan gas bumi secara bersamaan, dan ini merupakan "sinyal" bagi kondisi ketahanan energi nasional. 

Saat ini dari 289 Wilayah Kerja (WK) migas yang terdata, yang baru memasuki tahap produksi hanya 67 WK saja. Ini memperlihatkan bahwa terjadi kemandegan investasi dalam tahap eksplorasi oleh kontraktor, dimana masa eksplorasi menuju tahapan produksi membutuhkan waktu antara 8 hingga 26 tahun. 

Contohnya Blok Cepu yang telah ditemukan sejak tahun 2001, namun baru pada awal tahun 2016 memasuki tahapan puncak produksi. Poduksi minyak mentah nasional saat ini sekitar 800 ribu bph dan dengan kebutuhan sebesar 1,4 juta bph, maka dipastikan akan mengganggu kebutuhan jangka panjang terutama sektor kelistrikan. 

Ini akan dapat terindikasi dari jika terjadi penundaan proyek produksi gas skala besar. Nihilnya hasil lelang delapan WK pada tahun 2015, menunjukkan rendahnya minat kalangan investor industri hulu migas. 

Meity Wajong mengatakan saat ini tergabung 48 anggota perusahaan dalam pengelolaan Wilayah Kerja (WK) sektor hulu migas. Secara prinsipil para investor migas ini membawa dana segar dan teknologi sebagai penggarap , namun penguasaan WK migas tetap berada di tangan negara. Operasional eksplorasi dan eksploitasi (produksi) migas ditangani investor, termasuk pengelolaan risiko yang timbul. 

Pemerintah tidak perlu menyediakan dana besar, namun semua biaya itu akan dikembalikan secara bertahap jika produksi migas telah memberikan hasil. Setiap tahun investor migas harus memaparkan rencana kerja anggaran yang mendetail di hadapan Pemerintah. Tantangan saat ini  adalah bagaimana menggairahkan para investor agar mau melakukan eksplorasi di wilayah Indonesia Timur & berada di laut  dalam, yang mana sangat membutuhkan biaya operasi eksplorasi dan produksi yang tinggi . Keterlibatan aktif Pemerintah Daerah di era otonomi daerah ini, diperlukan komunikasi & koordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah dalam hal peraturan perizinan, perpajakkan/pungutan serta pengelolaan pendapatàn yang berimbang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline