Terungkapnya peredaran vaksin palsu yang telah berlangsung cukup lama sejak tahun 2003, telah sangat meresahkan kalangan masyarakat. Wajar saja timbul rasa kuatir akan kesehatan buah hati tercinta yang telah divaksinasi pada masa balita. Ini tentu akan mempengaruhi kualitas kesehatan hidup pada masa yang akan datang.
Jika dahulu ditemukan vaksin kadaluarsa yang disulap dengan mengganti kemasan baru, maka saat ini vaksin telah dipalsukan dengan melakukan pencampuran air dan antibiotik gentamisin. Ini dapat mengakibatkan kerusakan ginjal jika disuntikan pada balita.
Tentu saja patut menjadi pertanyaan bagaimana sistem pengawasan oleh pemerintah hingga peredaran ini telah masif dan berlangsung sangat lama. Jika saja petugas kesehatan di lapangan sulit mengenali serta membedakan vaksin asli dan vaksin palsu, bagaimana dengan masyarakat awam.
Drs Arustiyono , Apt.MPH (Direktur Pengawasan Distribusi Produk Terapetik & PKRT Badan POM RI) dalam talkshow BPOM dan Sahabat Ibu pada 1 Juli 2016 lalu di Jakarta, mengakui bahwa terkadang tenaga kesehatan pun dapat terkecoh dengan penampilan kemasan vaksin palsu , yang sulit dibedakan dengan yang asli. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) akan terus melakukan perbaikan perubahan regulasi standard kemasan obat vaksin.
Balai Besar BPOM di seluruh Indonesia telah diinstrukskan untuk melakukan inspeksi lebih intensif di seluruh layanan jasa kesehatan dan kefarmasian. Vaksin bermutu tinggi dan bermanfaat bagi kesehatan, dijamin ketersediannya di instalasi layanan kesehatan puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah. Disinyalir telah teridentifkasi di 37 titk layanan kesehatan dalam 9 propinsi yang terindikasi peredaran vaksin palsu, yang melibatkan rumah sakit, klinik, apotik serta praktik bidan swasta.
Produsen vaksin perusahaan farmasi besar seperti Biofarma bahkan termasuk Badan POM pun, selalu diaudit dan dalam pengawasan WHO (World Health Organization). Kerjasama lintas sektoral harus diperkuat dalam memberiikan perlindungan layanan kesehatan. BPOM hanya dapat merekomndasikan pencabutan layanan jasa sarana kesehatan , sementara kewenangan tersebut ada di Pemerintah Daerah. Untuk dapat memberikan rasa aman dalam masyarakat, perlu tindakan pencegahan antar pemangku kepentingan yang lebih intensif agar tidak terulang lagi.
Riati Anggriani SH, MARS, MHum (Kepala Biro Hukum & Humas BPOM) menjelaskan bahwa BPOM hadir di 33 propinsi dalam pengawasan obat dan bahan pangan. Perlu sikap saling intropeksi diri antar masyarakat, lembaga produsen dan pengawasan obat makanan, dalam menyikapi peredaran vaksin palsu. Masyarakat dihimbau juga mewaspadai produk bahan pangan dan kosmetika yang mengandung bahan pengawet dan pewarna berbahaya.
Paket imunisasi dasar program pemerintah di puskesmas dan rumah sakit pemerintah tak perlu dikuatirkan oleh masyarakat karena terjamin keasliannya. Masyarakat juga diharapkan peran serta dan peduli untuk dapat berani bertanya pada tenaga kesehatan sebelum mendapatkan layanan vaksin.
Dalam perkembangan terkini pihak Kementerian Kesehatan telah merilis daftar praktik bidan, klinik dan rumah sakit yang terindikasi terlihat dalam peredaran vaksin palsu. Dalam rapat kerja dengan DPR RI 14 Juli 2016 lalu, Menteri Kesehatan Nila Djuwita F Moeloek telah memberikan data 14 rumah sakit (13 di Bekasi, 1 di Jakarta Timur), 6 praktik bidan (5 di Bekasi, 1 di Jakarta Timur), 2 klinik (1 di Bekasi, 1 di Jakarta Barat).
Tentu sangat mengejutkan 14 layanan kesehatan ada di dua propinsi yaitu Jawa Barat dan DKI Jakarta. Padahal yang disinyalir ada di 9 Propinsi, dengan 37 titik layanan. Berarti masih ada sekitar 23 titik layanan kesehatan yang harus segera dipublikasikan. Harapannya agar keresahan semua masyarakat tak menjadi liar dan menurunkan tingkat kepercayaan terhadap program vaksin, yang merupakan benteng utama kesehatan tubuh generasi masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H