PT Dirgantara Indonesia (Persero) yang disingkat PT DI hadir dalam perhelatan Pameran Produksi Indonesia 2015 diadakan di Grand City Convex Surabaya 6-9 Agustus 2015 lalu. PT DI yang mampu melewati berbagai badai krisis dalam mengembangkan industri kedirgantaraan nasional , ingin menunjukan eksistensinya bukan hanya sebagai satu-satunya industri perakitan pesawat terbang di tanah air, tetapi juga memiliki keunggulan sebagai industri pendukung penerbangan baik sipil maupun militer yang diakui dunia internasional.
Pada hari kedua pameran PT DI melakukan talkshow dengan narasumber Umar Saripudin (Senior Supervisor Aircraft Business Development). Sekilas Umar menyampaikan informasi company profile melalui layar video. PT DI tidak hanya produksi komponen pesawat buatan PT DI saja, tetapi juga telah mampu dan menjadi mitra pembuatan komponen sayap untuk pesawat Airbus 380 dan Eurocopters. Saat ini project pesanan yang sedang dibuat PT DI adalah pembuatan pesawat CN235, NC212i, CN295 baik untuk pasar domestik maupun pasar internasional.
Pesawat CN-235 dikenal dengan berbagai macam varian untuk keperluan penerbangan penumpang, patroli maritim, penjaga pantai, cargo, pengamat cuaca hingga pesawat VVIP Kepresidenan Korea Selatan. Pesawat versi sipil/militer ini tidak hanya digunakan oleh operator penerbangan dalam negeri dan TNI AU saja, tetapi digunakan oleh beberapa negara seperti AS, Korea, Thailand, Filipina, Venezuela, Turki.
Kemudian Umar menjelaskan bahwa sebelum tahun 2015 PT DI berfokus pada produksi pesawat untuk versi militer. Sesudah tahun 2015 ini akan banyak fokus pada pesawat pengangkut penumpang. Saat ini PT DI bersama dengan pihak Korea Selatan ( G to G ) sedang mengembangkan pesawat tempur sekelas F-16 yang dikenal dengan nama IFX-KFX, yang diharapkan 2020 telah terbang. Sementara untuk pesawat penumpang yang dalam tahap pengembangan dan masih dalam prototype adalah N219. Melalui riset yang panjang pesawat N219 akan dikembangkan sebagai pesawat perintis untuk melayani daerah yang sulit terjangkau karena kondisi geografis pegunungan dan kepulauan. Ini untuk menjawab pada saat itu terbatasnya pesawat perintis akibat terhentinya produksi pesawat Twin Otter.
Keunggulan N219 adalah yang hanya membutuhkan landasan yang pendek kurang dari 600 meter dan tidak harus beraspal (cukup berumput keras). Bermesin 2 engine dengan kabin lebih luas dan muatan lebih besar dibandingkan pesawat sekelasnya. Instrumen panel yang simpel hanya terdiri dari 3 layar monitor besar. Bagian belakang pesawat tidak berpintu, tetapi berpintu luas di sebelah kiri pesawat. Komponen avionik dan engine saat ini masih diimpor karena teknologi tersebut belum dapat dibuat di Indonesia. PT DI memastikan bahwa kandungan komponen lokal saat ini telah mencapai 60%.
Konfigurasi pesawat dapat diubah cepat dari kebutuhan penumpang untuk menjadi pesawat kargo dan pengangkut pasukan (25 prajurit). Sejalan dengan program Presiden Joko Widodo sebagai Poros Maritim, N219 dapat melakukan pendaratan di air dengan gelombang yang tidak ekstrem. Sehingga dapat melayani antar pulau yang tidak memiliki landasan terbang. Selain itu dapat bermanuver di celah pegunungan dengan kecepatan rendah sekitar 59 knot atau 110 km/jam. N219 juga diwacanakan dapat sebagai Flying Doctors sehingga dapat mengitari beberapa pulau.
Produksi pesawat hanya jika telah ada komitmen order. Proses pemesanan/pengadaan engine dari Kanada saja membutuhkan waktu 1 tahun dan jika semua material pembuatan pesawat telah siap tersedia, maka satu pesawat dapat dirakit hanya dalam waktu 4 bulan saja . Saat ini telah ada komitmen order pesawat dari 3 operator penerbangan dalam negeri sebanyak 70 pesawat N219. Perkiraan harga satu pesawat di tahun 2015 saat ini adalah US$ 5,5 million ( sekitar 60-70 miliar rupiah). Diharapkan pada akhir tahun ini N219 telah dapat uji terbang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H