Lihat ke Halaman Asli

Yudha Pratomo

TERVERIFIKASI

Siapa aku

Generasi yang Tak Punya Imajinasi

Diperbarui: 4 Maret 2018   09:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Thinkstock

KRL Parungpanjang-Tanah Abang, 3 Maret 2018

Terlintas pikiran itu sekelebat, terjadi begitu saja ketika saya duduk di gerbong empat KRL arah Tanah Abang.

Setidaknya lima anak duduk berjajar di depan saya. Didengar dari suara dan gaya bicaranya, saya simpulkan mereka sepertinya anak SMP. Entah dari mana mereka berasal, mereka sudah ada di sana saat saya masuk gerbong ini.

Layaknya anak pada umumnya, mereka bercengkrama satu sama lain. Saling menggoda. Dua anak laki laki duduk berselang dengan tiga anak perempuan lainnya. Kelimanya berpakaian santai sambil menggendong tas sepertinya mereka akan berkunjung ke suatu tempat untuk liburan singkat---atau kerja kelompok di rumah kawannya mungkin.

Menarik memerhatikan mereka saling menggoda. Satu anak laki-laki mulai mengejek yang lain dengan meneriakkan nama orang tua. Sudah biasa seperti ini, toh saya pun mengalaminya semasa kecil, saling ejek menggunakan nama orang tua.

Tak lama kereta menderu, berjalan perlahan diiringi bunyi pluit dari sisi rel. Anak-anak yang awalnya ramai saling mencubit itu sekarang diam. Kesemuanya terpaku pada gawai masing-masing. Earphone tersemat di kuping dan posisi ponsel diputar horizontal. Saya tebak, mereka tengah menonton YouTube atau layanan streaming sejenisnya, dan sayangnya tebakan saya benar. Canda gurau yang tadi hadir kini membisu, mereka terpaku pada gawai sampai saya turun di stasiun Palmerah. 

**

Generasi anak ini (dan juga generasi saya) sepertinya tidak lagi punya kesempatan untuk berimajinasi. Generasi kini terjebak realitas yang ditayangkan di hadapan mereka. Realitas inilah yang tidak memberi kesempatan dan ruang imajinasi. "Generasi penonton", mungkin itu yang tepat sebutannya, bukan lagi "generasi pembaca" seperti ayah dan ibu kita kala masih seusia ini.

Kini orang-orang lebih menikmati menonton daripada membaca. Menonton memang mudah, tak sulit sama sekali, tinggal duduk manis melihat apa yang ditayangkan. Otak pun menerima dengan pasif tanpa ada perlawanan atau pengembangan. Stuck, sudah di situ saja imajinasi kita. Sedangkan membaca, effort-nya lebih besar. Butuh waktu untuk mencerna, menggambarkan kondisi dari apa yang kita baca dalam pikiran. Tapi inilah nikmatnya, kita bisa berimajinasi dan tak ada batasnya.

Pikiran bisa terbang bebas ke mana-mana tanpa dibatasi oleh gerak visual seperti pada YouTube atau apapun itu. Percayalah, struktur otak kita lebih canggih dari teknologi layar manapun yang menampilkan imaji. Karena itulah saya prihatin pada cermin, pada diri sendiri dan anak masa kini yang lebih tertarik menonton daripada membaca. 

Semoga saja saya dan anak-anak ini bukan generasi yang tak punya imajinasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline