Jakarta - Jika ditanya apa buku favorit saya, saya akan sangat bingung menjawabnya. Bukan, bukan karena saya tidak suka baca buku atau karena terlalu banyak buku yang saya suka. Alasannya karena hanya sedikit saja buku yang benar benar saya "betah" membacanya sampai tuntas.
Saya memang orang yang tidak tertarik pada banyak hal, termasuk judul buku. Saya bukan orang yang bisa memaksakan untuk membaca buku jika pada halaman halaman awal saja saya sudah tidak tertarik. Bahkan saya selalu bertentangan dengan sebuah peribahasa karena saya selalu menilai buku dari kavernya. Buat sebagian orang mungkin ini salah, tapi saya beranggapan bahwa kaver adalah salah satu representasi dari isi buku. Kemudian ditunjang dengan sinopsis menarik maka dua entitas ini bisa menarik orang untuk membaca buku tersebut.
Oke, tapi buka berarti saya tidak punya rekomendasi buku yang kece. Saya punya beberapa, tapi mungkin menurut Anda tidak akan menarik. Tapi yasuda lah ya, namanya juga rekomendasi.
Buku pertama yang saya rekomendasikan adalah "Dongeng dari Negeri Bola" karya Yusuf (dalipin) Arifin. Dari judulnya saja sudah bisa ditebak, buku ini membahas tentang seluk beluk olahraga terpopuler sejagat; sepak bola.
Tapi membahas sepak bola bukan berarti hanya membicarakan tentang jumlah gol, menit bermain, penguasaan bola atau atribut-atribut lain yang terjadi di lapangan. Sepak bola bukan hanya soal angka. Sepak bola tak hanya itu. Sepak bola adalah bahasa universal dengan lingkup yang sangat luas dan sepak bola hadir dalam setiap atribut penting kehidupan. Budaya, kebiasaan, politik, ekonomi, hingga soal kepercayaan pada Tuhan pun ada unsur sepak bola di dalamnya.
Buku ini bukan untuk pembaca yang mencintai sepak bola hanya karena angka. Karena buku ini mengulas olahraga terpopuler sesemesta ini dengan sudut pandang serta pembahasan lain, bukan hanya angka.
Dalipin--si penulis--mampu menjabarkan bahwa sepak bola memang memiliki akar yang rumit. Ia memperlihatkan adanya keterkaitan antara sepak bola dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, hukum, bahkan nilai-nilai yang tidak mampu untuk kita prediksi.
Buku ini terbagi lebih dari 10 judul artikel. Setiap judul adalah tulisan-tulisan yang pernah ia muat di media online detik.com dan blog pribadinya. Istinewanya, Anda bisa membaca setiap judul tanpa harus berurutan. Karena artikel-artikel di dalamnya tidak berkesinambungan sama sekali. Hanya saja sangat relevan dengan isu-isu yang tengah terjadi kala itu.
Ada satu yang ulasan yang sangat membekas dalam ingatan saya, yakni ketika ia menceritakan bagaimana sebuah kota yang berisi dengan para penduduk imigran--yang tentu saja dipandang sebelah mata--bisa merebut tahta tertinggi kekuasaan Liga Inggris. Yang menarik adalah melalui tulisannya ia memperlihatkan Leicester City melalui sudut pandang kemanusiaan. Bagaimana kota tersebut dengan lapang dada menerima para imigran dan tumbuh sebagai daerah yang majemuk. Bagaimana kehidupan di kota tersebut tanpa membedakan agama, warna kulit, dsb. Bagaimana kota itu dengan ikhlas memberi wadah bagi para imigran untuk kembali memperbaiki hidup dan memulai dari nol.
Dalipin menceritakan itu semua dalam tulisan berjudul "Romantisme Tanpa Rasa Congkak". Jika hanya membaca judul saja mungkin Anda tidak pernah menyangka bahwa isi artikel itu menceritakan tentang sepak bola. Ada juga artikel yang saya sangat suka--bahkan dibaca berulang-ulang pun tidak bosan--berjudul "Karena Legenda Tidak Perlu Kata Berpisah".
Artikel itu dibuat ketika seorang legenda, kapten Liverpool, Steven Gerrard memutuskan untuk pensiun. Istimewanya, Dalipin adalah seorang pecinta Manchester United yang kita tahu persaingan di antara dua kesebelasan--lebih jauh lagi, persaingan dua kota--tidak akan pernah habis sampai kapan pun. Tapi tulisannya untuk seorang Steven Gerrard ini mengandung rasa cinta dan tak ingin kehilangan yang begitu besar. Memang seorang sosok Gerrard ini menjadi salah satu alasan mengapa Liga Inggris begitu dicintai para penggemarnya.