Jakarta - Marc Marquez sudah di ambang juara. Begitulah kenyataannya, meski dari balapan di Malaysia dua minggu lalu Dovizioso berhasi menahan selebrasi Marquez. Setidaknya sampai 12 November minggu ini.
Musim ini buat saya memang cukup mengejutkan. Terlepas dari performa Valentino Rossi yang menurun di akhir-akhir musim ditambah dengan cedera yang dialami, penampilan beberapa rookie jauh lebih menarik perhatian. Johann Zarco salah satu pebalap yang menarik buat saya. Meski ia berada di tim "kelas dua" Yamaha Tech 3, ia bisa menyudutkan senior-seniornya di sirkuit.
Ah, malah jadi ngomongin rookie. Nanti saja itu mah. Ada tulisan khusus buat mereka sebagai rasa hormat dari saya.
Kembali ke persaingan Marquez dan Dovizioso. Ketatnya perebutan posisi tertinggi dua pebalap ini memang sangat menyita perhatian, apalagi para GP Mania. Sejak pertarungan makin ketat, notifikasi grup pecinta motoGP di Telegram saya pun hampir tidak pernah berhenti. Isinya selalu debat. Siapa paling cepat, siapa paling hebat, siapa paling beruntung, itu saja setiap hari dan tidak ada habisnya.
Tapi memang tidak bisa ditampikkan bahwa kejar-kejaran poin para pebalap musim ini lebih seru dari musim sebelumnya. Bahkan penentuan juara pun harus sampai di sirkuit terakhir, Valencia. Terakhir kali persaingan seperti ini seingat saya terjadi pada 2006 lalu, waktu saya masih SMP. Waktu itu mendiang Nicky Hayden menantang juara bertahan Valentino Rossi. Seperti biasa, Rossi diprediksi jadi juara, selalu saja begitu meski kondisi nyata hampir mengatakan tidak mungkin.
Kala itu Yamaha Camel dilanda segala masalah. Mulai dari engine trouble sampai masalah ban. Tapi kalimat-kalimat superlatif memang sepertinya sudah sangat melekat pada Rossi, dan itulah yang dilihat para pengamat dan fans tentunya. "Rossi bisa menang" begitu kata mereka. Tidak sedikit dari mereka yang jemawa meski kenyataan sebetulnya bertolakbelakang dengan harapan.
Saya ingat beberapa hari lalu saat dua kawan tengah berdebat siapa yang terbaik di antara Marquez dan Dovizioso. Bisa ditebak siapa menjagokan siapa. Saling adu argumen satu sama lain, sok-sokan dengan data, yang entah benar atau tidak hanya mereka berdua yang tahu. Yang penting adu mulut dulu saja.
Yang menarik adalah saat satu kawan mengatakan "pebalap itu tidak bisa lepas dari takdir aspal". Entah apa maksudnya istilah "takdir aspal" itu tapi saya pikir itu adalah segala kemungkinan yang terjadi setelah pebalap berada di atas aspal. Kemungkinan yang bisa berbeda dengan segala ramalan sebelum lampu start menyala.
Mungkin takdir aspal inilah yang ketika itu membuat sial nasib Rossi. Putaran kelima di Valencia 2006 silam seolah jadi akhir persaingannya. Kesalahan sepele membuatnya tergusur keluar sirkuit, jatuh terkapar. Meski bisa bangkit dan melanjutkan balapan, poin yang didapat tidak cukup untuk mengejar Hayden yang finish di posisi ke dua.
Takdir aspal ini juga yang bisa saja membuat Marquez gagal juara seperti Rossi kala itu. Meski jika kita melihat dari perhitungan poin, sangat sulit bagi Dovizioso untuk mengejar. Setidaknya jika Dovi ingin juara ia harus berada di posisi pertama dan Marquez di posisi 12. Hampir mustahil Marquez finishdi posisi bawah ini mengingat bagaimana performanya sepanjang tahun 2017. Dan meskipun Minggu nanti terjadi wet racedi mana Dovizioso selalu lebih unggul, kemungkinan ini tetap saja kecil.
Tapi kita tidak bisa lupa juga bahwa ada "takdir aspal" seperti yang kawan saya bicarakan sebelumnya. Takdir yang membuat segala kemungkinan bisa terjadi, termasuk ragam masalah. Ada catatan menarik bahwa seorang Marc Marquez adalah pebalap yang paling sering terjatuh di MotoGP (kecuali para rookie). Di tahun 2013 lalu tercatat ia jatuh sebanyak 15 kali. Pada musim berikutnya ia jatuh sebanyak 11 kali, ini yang paling sedikit. Bahkan kalau Anda ingat, di musim 2015 ia jatuh sebanyak 13 kali dan berakhir dengan kehilangan titel juara. Pada musim 2016 kemarin jumlah kecelakaannya naik hingga 17 kali crash.