Rasa kantuk itu selalu menyelinap.
Di antara suara ayam dan burung yang berteriak membangunkan.
Bunyi alarm pun seperti tidak mau pergi,
Kecuali ketika aku beranjak, dan mandi.
Selimut pun ku sibak.
Tanda siap untuk beranjak.
Beranjak pergi meninggalkan mimpi, meninggalkan pagi.
Setengah mata terpejam aku lihat sekeliling.
Buram, tidak terlihat.
Tertutup pekatnya kantuk ini untuk memulai hari.
Semacam elegi yang mengalun di pagi hari, tertutup dan tidak kian pasti.
Ah, Memulai hari saja sudah sulit, apalagi memulai hidup?
Pikirku sambil terpejam.
Mungkin aku butuh pemicu lain.
Untuk amunisi, untuk menembak pagi.
Kopi? Bisa jadi.
Satu sendok pekat kopi hitam mulai ku tuang.
Tidak begitu pahit, juga tidak begitu manis.
Sedikit saja aku campurkan susu putih di atasnya.
Lezat sekali pikirku...
Syukurlah, dengan kopi ini aku sejenak melupakan obrolan kita malam tadi.
Tentang kita dan analogi yang kian tidak pasti.
Syukurlah, perlahan kamu pun paham tentang segala kejadian ini. Begitu juga aku di sini, di depan kopi hitam ini.
Warna yang pekat ini membuat aku tidak bisa bercermin melihat diri.
Rasanya yang pahit membuat sadar tentang hubungan yang terlalu gamang.
Tapi dari kopi ini kita bisa belajar satu hal...
Ketika yang pahit menjadi adiktif.
Ketika yang gamang menjadi terang.
Ketika yang pekat menjadi penguat.
Sudahlah... Lupakan obrolan kita semalam.
Aku masih butuh kopi untuk pagi ini.
Butuh kafein untuk kantuk ini.
Butuh kamu untuk hidup ini.