Lihat ke Halaman Asli

Namaku Aurora (Sebuah Cerpen)

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

oleh: Pratiwi Ws

Namaku Aurora, sampai kutuliskan kisah ini namaku masih Aurora. Aku adalah keperempuanan yang berkeliaran di dalam tubuh seorang lelaki. Perjalananku berkelana hampir mencapai ujung dari segala tujuan.

Aku seorang anak nelayan yang hidup dan besar di pesisir pantai Grajagan, salah satu pantai dengan ombaknya yang lumayan besar di wilayah timur pulau jawa. Setiap hari bapakku yang seorang nelayan pergi melaut. Sebelum kutuntaskan mimpiku di ujung pagi aku sudah terbiasa mendapati tempat gantungan jala bapak kosong. Pada tengah hari akan kusaksikan wajah legamnya sumringah sambil menenteng tempat ikan yang terbuat dari anyaman rotan miliknya, entah berisi penuh atau tidak sama sekali.

Dari wilayah pesisir ini awal perjalananku dimulai, proses pencarian panjang jati diri, juga lika-liku cinta yang begitu perih mengukir lukanya di tubuhku.

***

“Lim, kita bukanlah bulan dan bintang, kita adalah jala dengan logam pemberatnya, selalu bersama dan saling menguatkan.”

Murni, perempuan laut yang dulu sering menghabiskan waktu bersamaku, adalah kawan masa kecil terbaik. Barangkali dia satu-satunya teman yang bisa mengerti keistimewaan di dalam diriku. Betapa bahagianya bisa seharian bermain boneka kayu dengannya. Kadang kami habiskan waktu di pinggir pantai dengan membangun istana pasir, atau mengumpulkan rumput liar yang kemudian kami anyam menjadi mahkota dan memakainya di kepala kami sambil memainkan peran sebagai raja dan ratu. Yang menjengkelkanku dia selalu ingin menjadi ratu, posisi yang sama-sama ingin kuperankan. Tapi gadis cantikku itu tidaklah egois, karena dia tahu kondisiku dan pasti mengalah.

Disaat-saat tertentu dia bisa menjelma seperti Hera, dewi pelindung dalam mitologi yunani kuno di masa Olympus. Seperti yang kuketahui dari Felix, bule yang sempat beberapa bulan menjadi kekasihku. Murni membenci orang-orang yang mengolokku, yang melecehkan perbedaan di dalam diriku.

Aku mulai menyadari seutuhnya kelainanku memasuki tahun keduaku di sekolah menengah pertama. Saat dengan berat hati kupakai celana pendek seragam sekolah. Aku benar-benar iri kepada Murni, dia semakin cantik dalam balutan seragam putih birunya saat itu, tidak sepertiku yang terlihat bodoh dengan celana pendek kedodoran dan rambut yang dipangkas pendek sekali.

Entahlah, aku tidak yakin apakah dulu aku sempat jatuh cinta kepadanya atau tidak?! Lebih, kurasa ini lebih dari sekedar cinta, sebab kami seolah tak pernah kuasa saling berjauhan satu dengan yang lainnya.

Selalu kuingat kejadian dimana pertama kalinya kami berdua belajar merias diri di kamar Murni. Tidak ada siapa-siapa waktu itu, dan kamar Murni yang letaknya berada di belakang rumah serta terpisah dari kamar yang lainnya karena terhalang dapur, membuat kami begitu leluasa melakukan apa saja di dalam sana. Kuakui Murni memang cantik, kecantikannya nyaris sempurna dengan warna kulit hitamnya yang  eksotis, seperti warna kulit orang-orang pesisir kebanyakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline