Lihat ke Halaman Asli

Resensi Buku: Manusia Langit

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari mereka, aku banyak belajar tentang esensi persamaan dan perbedaan, tentang diriku yang kutemukan dalam diri mereka, tentang diri mereka yang kutemukan dalam diriku, utamanya tentang harga diri yang di satu tempat dijunjung tinggi tapi di tempat lain ternyata tak ada arti.

Novel berlatar belakang kebudayaan orang nias ini dimulai dari sebuah perjalanan panjang seorang dosen muda bernama Mahendra. Dosen arkeologi ini senang berdiskusi dengan mahasiswanya tanpa membatasi ruang dan waktunya, dia sangat puas jika mahasiswanya dapat belajar dari pengetahuan dan pengalaman dirinya. Sampai pada suatu hari ia bertemu dengan yasmin, mahasiswinya yang sering berdiskusi dengannya mengenai banyak hal dan hendra tak bisa hindari bahwa ia jatuh cinta dengan yasmin, kisah cinta antara dosen dan mahasiswi ini terus berlanjuthingga akhirnya yasmin gadis keturunan yang umurnya lebih muda 10 tahun dari hendra pun menerima pinangan sang dosen arkeolog ini, meja billiard 21 cineta di depan malioboro menjadi saksi cinta mereka. Namun polemik kisah cinta ini belum selesai, setelah meminta restu, orang tua yasmin tidak setuju anaknya yang keturunan arab asli itu menikah dengan seorang pribumi. Yasmin yang terbiasa hidup keras di yogyakarta dan sudah terlanjur cinta dengan mas hendra, begitu sapaan gadis itu pada kekasihnya. Akhirnya yasmin menghilang selama 2 bulan, dan mengabarkan hendra bahwa ia telah mengandung anaknya dan akan merawatnya sendiri. Hendra bingung dan sedih, kenapa yasmin bersikap seperti itu padahal dia mau menikahinya dan bertanggung jawab. Setelah itu hendra mendapat kabar bahwa yasmin telah meninggal terbunuh di kamar hotel.

Kesedihan melanda sang dosen, untuk membunuh kesedihannya hendra pergi dari kampus dan pergi ke Nias. pada maret 2005 Nias dilanda gempa, dan akhirnya hendra memutuskan untuk menjadi relawan, jejak langkahnya mengantarkan ia sampai kampung gunungsitoli. Disana ia mengajar sebagai guru SD, kemudia naluri petualangannya membuat ia sampai di desa Banuaha, desa terpencil di Nias yang kental akan hukum adat dan kepercayaan terhadap leluhur yang sangat unik. Di kampung ini hendra bertemu dengan pemuda asli banuaha bernama sayani. Hendra dan sayani memulai petualangannya meneiti dan menggali layaknya seorang arkeolog. Saat hendra dan sayani menggali di ladang ia menemukan sebuah priuk, priuk itu membawa ingatannya terhadap sosok perempuan yang iya cintai dan anaknya, tentang pembunuhan bayi dan ternyata erat sekali dengan mitos roh pemakan bayi di banuaha. Setelah ditelusuri melalui ama budi ayah sayani yang merupakan tetua disana ternyata hendra menemukan sebuah jawaban yang mungkin mengantarkan iya lebih dalam tinggal di Banuaha, hingga 2 tahun berlalu hendra hidup sebagai anak daerah disana, pergi ke ladang membantu ama budi dan keluarga. Ia sudah menjadi bagian dari keluarga ama budi, cerita tentang pengalaman, adat dan para leluhur banuaha pun mengalir setiap malam dalam percakapan hendra dan ama budi. Disinilah hendra mulai menyadari tentang sebuah harga diri yang dijunjung tinggi dengan nilai yang berbeda. Mahendra menulis semua pengalamannya selama di banuaha pada sebuah buku catatan. Namun, memikirkan hidupnya yang jauh dari dunia kampus dan hiruk pikuk jogya tak lantas membuatnya terlarut dalam kesedihan, ia menyalurkan bakat mengajarnya dengan menjadi guru SMP di banuaha. Keramahan dan kenyamanan yang ia dapatkan dari keluarga ama budi sangatlah membuat hendra merasa berat untuk meninggalkan kampung ini.

Keindahan alam banuaha dengan sungai gomu-nya yang menjadi sumber kehidupan beserta gunung yang menjadi benteng kampung ini mengantarkan hendra pada sebuah bola mata jelita seorang gadis banuaha, saita namanya. Gadis ini adalah murid hendra sekaligus keponakan dari ama budi. Hendra merasakan cinta lagi, namun seperti yasmin kisah cinta hendra pun berakhir dengan kematian saita karena sebuah pengorbanan harga diri. Hendra pun meninggalkan kampung demi menjaga harga diri ama budi, harga diri di kampung ini sangatlah mahal, jika engkau mau di dengar sebagai tetua, kau harus melaksanakan pesta osawa 7 hari 7 malam seperti yang ama budi lakukan 10 tahun yang lalu. Adat dan kepercayaan terhadap leluhur masih kental disini, memenggal puluhan babi adalah sebuah tradisi pesta ketika ada yang menikah, sakit, meninggal. Dll. Semua berpesta dengan babi, emas dan beras. Pada sebuah titik hendra menyadari bahwa sebera usahanya dirinya membaur denganorang banuaha ia tetaplah mahendra seorang dosen arkeolog berdarh jawa. Hendra berjanji pada ama budi bahwa ia akan membawa pengalaman dan cerita-cerita ini pada manusia langit di perguruan tinggi dan suatu saat akan mengajak ama budi ke kampusnya. hingga akhirnya pada penghujung perjalanan ini hendra masih mengharapkan yasmin dan anaknya masih hidup dan bersamanya.
Apakah yasmin masih hidup? Apakah mahendra dapat membawa catatanya hingga ke dunianya (kampus)?

Novel “manusia langit” sangat membuat saya penasaran, jalan ceritanya yang tak mudah di tebak dan isi cerita yang penuh dengan nilai-nilai budaya, agama maupun sosial membawa saya pada sebuah renungan mendalam mengenai keberadaan manusia di bumi ini yang begitu beragam hingga sebuah harga seseorang pun mempunyai nilai yang berbeda. Keindahan budaya Nias (fakta) dan alur cerita beserta tokoh (fiktif) dapat dipadu secara harmonis dan diramu dalam sebuah novel etnografis yang sangat keren. –Andi Misbahul Pratiwi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline