Lihat ke Halaman Asli

yudhi

Pendidikan itu mengobarkan api dan bukan mengisi bejana. (Socrates)

Mencapai Cita-cita Indonesia Sejahtera

Diperbarui: 6 Mei 2017   01:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Mengembangkan fasilitas dan SDM dalam bidang "Pendidikan, Kesehatan, Kebudayaan Lokal, dan Pertanian" bagi masyarakat pedesaan)

Saya hidup di kota Makassar. Saya kelahiran 10 Maret 1989 dan saat artikel ini ditulis, saya sudah berumur 28 tahun. Ketika mengenang masa tahun 1990-an ketika saya masih kecil, saya masih merasa bahagia, meskipun pada saat itu belum ada internet maupun game yang canggih seperti sekarang ini. Usaha keluarga saya ialah berdagang bahan bangunan, dan pada masa 1990-an, usaha keluarga saya masih baik dan dapat mencukupi (bahkan melebihi dari cukup) kebutuhan hidup keluarga saya.

Belakangan ini (di tahun 2016 hingga saat artikel ini ditulis), saya melihat bahwa masyarakat banyak yang hidup di dalam kesulitan hidup dan budaya lokal sudah banyak yang luntur dan bahkan hilang. Berikut saya uraikan penjelasan saya:

+ kesulitan hidup

  • Banyak anak-anak terlantar.
  • Beberapa orang berusia dewasa (27-40 tahunan) dan usia tua (65-80 tahunan) yang hidup dengan kondisi kehidupan yang tidak layak dan di dalam kemiskinan.
  • Usaha yang sulit (susah mencari uang). Baik:
    • Dari segi pengusaha, karena persaingan usaha yang sulit dan perekonomian lesu, maupun
    • Dari segi pencari kerja, karena kurangnya lowongan kerja dan minimnya keahlian/keterampilan yang dimiliki oleh pencari kerja.
  • Bertambahnya masyarakat yang ber-profesi rendah, contohnya tukang becak, pemulung, pengemis.

+ Budaya lokal

  • Minimnya perhatian terhadap agama (tetapi siapa yang masih memiliki keyakinan secara murni terhadap ajaran agamanya ?).
  • Hilangnya perhatian terhadap sesama manusia. Contohnya:
    • Perilaku meng-objek-kan sesama manusia dan bukan memandang sesama manusia sebagai pribadi yang setara dengan kita.
    • Rasa sepenanggungan.
  • Hilangnya jiwa yang mencintai tanah air. Hilangnya kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara.
  • Hilangnya ajaran mengenai budaya lokal. Budaya lokal merupakan identitas asli (jati diri) dari suatu suku, yang bukan hanya mengajarkan seni rupa (seni rupa = tarian, festival, kebiasaan, bahasa daerah, tata krama/sopan santun), tetapi yang bernilai (dapat kita pegang dan pelajari) ialah "nilai moral" yang dapat dilestarikan dari budaya tersebut.

Banyak kali saya berpikir mengapa semua itu dapat terjadi (berpikir dari segi politik dan pemerintahan) ?

Ketika saya bertamasya ke luar kota, saya juga melihat bahwa:

  • Kondisi pedesaan yang tidak berkembang dan tidak terawat, seperti akses jalan ke pedalaman yang masih rusak, tidak ada akses terhadap kebutuhan dasar seperti listrik, air, sanitasi yang layak sebagaimana yang biasa dinikmati oleh masyarakat perkotaan.
  • Juga masyarakat pedesaan yang masih hidup di dalam kekurangan dan keterbatasan,seperti banyak dari masyarakat pedesaan yang masih harus bergantung kepada masyarakat luar untuk membeli jualannya, sebagian menjalani profesi rendah sebagai pembantu, mayoritas penduduk pedesaan masih memiliki tingkat intelektual yang rendah karena minim dan rendahnya kualitas pendidikan di pedesaan sehingga hasil pembangunan di pedesaan juga tidak cukup untuk dapat memajukan kualitas kehidupan masyarakat di pedesaannya (tidak dapat memajukan daerah tertinggal).

Membandingkan kesenjangan pembangunan antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan, seperti membandingkan perlakuan seorang ibu kepada anak kandungnya dengan anak tirinya. Dalam hal ini, negara ini adalah ibu, kota adalah anak kandung, dan pedesaan adalah anak tiri. Saya pun berpikir bahwa pemerintah saat ini telah salah dalam arah kebijakannya. Pemerintah seharusnya dapat menyeimbangkan kemajuan di daerah perkotaan dengan kemajuan di daerah pedesaan. Bukan berarti mengubah "wajah" daerah pedesaan menjadi "wajah" daerah perkotaan. Tetapi menyamakan "kualitas hidup" di daerah pedesaan menjadi setara atau setidak-tidaknya hampir sama dengan "kualitas hidup" di daerah perkotaan.

  • Jika di kota terdapat pendidikan unggulan (SD, SMP, SMA, Universitas dan tenaga pengajar professional), mengapa di pedesaan tidak ada ?
  • Jika di kota terdapat akses listrik, air, dan sanitasi yang komplit, mengapa di desa tidak ada ?
  • Jika di kota terdapat tenaga medis (dokter) professional, mengapa di desa tidak ada ?
  • Jika di kota terdapat dewan (kumpulan para ahli pembangunan/professional) yang dapat memberikan saran & masukan bagi pemerintah kota untuk menata wilayah perkotaan, mengapa di desa tidak ada ?

Jadi, mari kita majukan daerah pedesaan saat ini ! Perkotaan sebagai 'anak kandung' sudah cukup mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari 'ibunya'; sekarang giliran pedesaan sebagai 'anak tiri' yang perlu diberi perhatian lebih oleh 'ibunya' agar ia dapat hidup sama layaknya dan bahagianya dengan 'saudaranya (perkotaan)'. Dalam hal ini, pedesaan juga harus mendapat akses pendidikan, kesehatan, menjaga kebudayaan lokal, dan pengutamaan pencarian kehidupan dari SDA yang dimilikinya, yaitu pertanian. Sebab melalui "Pertanian Yang Kuat", masyarakat (baik masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan) dapat hidup mandiri dan tidak bergantung kepada pasang surutnya kondisi perdagangan (perekonomian).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline