Lihat ke Halaman Asli

Menguak Prinsip-Prinsip Genetika Dalam Pewayangan

Diperbarui: 4 April 2017   16:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

... SURADIRA JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI ...

Maraknya pemberitaan mengenai bioteknologi, khususnya teknologi rekayasa genetika di media massa akhir-akhir ini, telah membuat kita terkagum-kagum pada kecanggihan teknologi kutak-kutik gen (materi genetik pembawa sifat tertentu) yang dilakukan oleh para peneliti di sejumlah negara maju. Lebih dari satu abad yang lalu, Bapak Genetika, Gregor Mandel telah merumuskan aturan-aturan untuk menerangkan cara-cara pewarisan keturunan dan sifat-sifat biologi dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Peristiwa tersebut sekaligus menandai lahirnya ilmu genetika. Namun jauh sebelum Mandel memperkenalkan teori keturunannya tersebut, orang Jawa sebenarnya telah mengenal pengetahuanh tentang keturunan (genetika). Lantas pertanyaannya adalah, Kapankah orang Jawa mengenal dan memahami prinsip-prinsip genetika ? Bukankah teori genetika baru dikenal seabad yang lalu oleh bangsa Barat, kemudian melalui media apakah orang Jawa dapat mengenal genetika ?

Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita perlu menentukan salah satu hasil karya adiluhung orang jawa dalam bidang seni, sastra, ilmu pengetahuan dan teknologi beserta ciri-ciri aslinya yang sampai sekarang masih melekat dalam kehidupan serta penghidupan sehari-hari dari orang Jawa.

Menurut Dr.Budi Setiadi Daryono (1997), dosen Genetika pada Fakultas Biologi UGM, wayang kulit purwa baik dalam wujud bentuk dan lakon (penampilan dalam cerita) pagelarannya yang bersumber pada cerita Mahabharata dan Ramayana mencerminkan hasil-hasil karya nyata pujangga Jawa dengan ciri-ciri keasliannya. Dengan demikian kita dapat melihat adanya pemahaman dan pengertian orang Jawa terhadap genetika melalui bentuk dan lakon wayang kulit purwa yang merupakan hasil karya asli pujangga Jawa.

Kaitan Genetika dengan Wayang

Seperti telah dikemukakan di atas bahwa orang Jawa mengenal dan memahami genetika melalui bentuk serta lakon wayang kulit purwa, maka sejak kapankah wayang tersebut dikenal orang Jawa ?. Ir. Haryono H Guritno (1984) menyatakan bahwa wayang kulit purwa telah ada di Nusantara sejak tahun 872 /903 Masehi bahkan sumber lain menyebutkan wayang sudah ada sejak 1500 SM yang digunakan untuk kegiatan upacara-upacara keagaamaan. Ini berarti orang Jawa telah cukup lama mengenal wayang.

Apabila kita lihat dengan seksama, maka wayang terbagi menjadi beberapa golongan dengan bentuk tubuh serta busana yang berbeda-beda satu sama lainnya. Dr. Hartono Moedjisoenoe dari Universitas Kediri (1985) menggambarkan adanya perbedaan lahiriah dan batiniah dari masing-masing tokohnya, misalnya bentuk dan warna roman muka, mata, hidung, mulut, suara serta watak atau perilaku serta sifat para tokohnya. Ini tercermin baik dalam wujud/bentuk maupun lakonnya. Karena itu orang Jawa seringkali mengatakan bahwa “kacang mangsa ninggala lanjarane”.

Berikut ini akan diuraikan salah satu contoh ilustrasi yang menunjukkan terdapatnya aspek genetika dalam wayang yaitu dari kisah Mahabharata akan diambil genetik keluarga Bima (Werkudara), sedangkan dari epos Ramayana akan diambil genetik keluarga Resi Wisrawa.
Genetika Keluarga Bima

Menurut Kitab Mahabharata, Bima adalah putera Batara Bayu dengan Dewi Kunthi, karena itu Bima seringkali disebut dengan Bayusuta, yang berarti anak Batara Bayu. Wujud dan bentuk tubuh Bima banyak menunjukkan sifat-sifat warisan Batara Bayu (ayah), demikian juga nada dan ritem suara serta perilakunya. Dalam genetika, gen pembawa sifat Batara Bayu yang menonjol disebut dominan terhadap gen Dewi Kunthi.

Dalam kehidupannya, Bima diceritakan mempunyai anak dari 3 istri yang berbeda. Dari istri pertama, Dewi Nagagini, putri Sang Hyang Anantaboga yang berujud naga yang bersemayam di Kahyangan Saptapertala (di dalam bumi), lahir seorang putera bernama Antareja/Anantareja. Antareja memiliki sifatr seperti nama yaitu seluruh badannya bersisik seperti naga dan memiliki upas (bisa) ular yang sangat dhasyat (mandhi, bahasa Jawa) dan dapat disemburkan dari mulutnya. Selain itu, Antareja dapat masuk ke dalam bumi (ambles bumi, bahasa Jawa) serta berjalan didalamnya seperti layaknya seekor ular. Gen pembawa sifat dominan ini bukan berasal dari Bima (ayah) tetapi berasal dari Batara Anantaboga (kakek dari ibu) yang tidak muncul pada Nagagini (ibu). Peristiwa sepereti ini dalam teori genetika disebut Epistasis. Tetapi apabila kita perhatikan raut muka Antareja seperti pada bentuk wajah, mata, hidung, mulut dan ritme suaranya, jelas gen dominannya berasal dari Bima (ayah).

Selanjutnya dari istri kedua, Dewi Arimbi yang semula berwajah raseksi (raksasa wanita), adalah putri dari Prabu Tremboko (raja raksasa dari Pringgodani). Dari arimbi inilah lahir seorang putera bernama Gathutkaca. Pada Gathutkaca gen pembawa sifat ibu (Arimbi) sangat dominan. Hal ini dapat dilihat bahwa ketika lahir Jabang Tutuka (Gathutkaca) berujud bayi telah memiliki gigi taring (siung) seperti layaknya seorang raksasa, tetapi raut muka (mata, hidung, dan mulut), nada dan ritme suara, perilaku, serta sikap gen dominannya berasal dari Bima (ayah).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline