Lihat ke Halaman Asli

Hati-hati Wartawan Bodrek!

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_301210" align="alignleft" width="300" caption="Sumber gambar: regional.kompasiana.com"][/caption]

Ketika diminta menjadi juri pada Festival 1.000 Anak Yatim Menulis akhir Agustus 2010, saya kebetulan bertemu kembali dengan rekan jurnalis dari sebuah media Islam. Kami berbincang-bincang sejenak ketika acara baru dibuka oleh Gubernur Jawa Timur (Jatim) Soekarwo.

Rekan saya menceritakan bahwa ada anak yatim dari yayasan tempatnya bernaung yang ikut festival menulis tersebut. Kebetulan dua anak di antaranya berada di bawah bimbingan saya.

Di sela-sela perbincangan, dia mengeluhkan suatu hal. Hanya, dia sungkan mengungkapkannya. Saya sedikit memaksanya untuk buka suara. Setelah berpikir sejenak, dia akhirnya mau menuturkan penyebab kegelisahannya.

”Kami dipalak,” ucapnya. Saya mengernyitkan dahi, lantas menanyakan maksud ucapannya.

Dengan mimik ragu, dia mengacungkan telunjuknya ke arah seorang wanita berperawakan sedang di salah satu pintu keluar gedung. Rekan saya itu menceritakan, wanita berambut ikal tersebut mengaku sebagai seorang wartawan. Hanya, medianya cukup asing. ”Saya nggak pernah denger adanya media itu,” tutur kawan saya.

”Si wartawan” itu menjumpai pemimpin yayasan. Dia memperlihatkan medianya sembari menunjukkan berita tentang yayasan tersebut. Sejurus kemudian, wanita tersebut meminta uang sebesar Rp 2 juta atas pemuatan berita itu.

Teman saya tadi menghela napas. Rasanya, saya ingin misuh (mengumpat) waktu itu. ”Hati-hati wartawan bodrek” ingat saya kepadanya. Saya menegaskan bahwa tindakan wanita tadi adalah bentuk pemerasan. Untung, pihak yayasan belum sempat memberikan uang yang diminta oleh wanita tadi.

Sayang, sebelum kami sempat melanjutkan perbincangan itu, saya harus mendampingi para peserta karena sambutan panitia sudah selesai.

Hingga acara rampung pada pukul 16.00, saya masih menyimpan rasa geram terhadap wartawan bodrek yang memeras pihak yayasan tempat teman saya bekerja tadi. Saya tak langsung pulang waktu itu, membuka laptop dan browsing internet. Saya menemukan sebuah artikel saran dari Dedi Dwitagama.

Di situ, dia menyebutkan ciri-ciri wartawan awu-awu alias bodrek (dosisnya mungkin lebih bahaya daripada Bodrex). Berikut ciri-ciri wartawan bodrek berdasar penjelasan Dedi:

1.Menghubungi narasumber lebih dulu sebelum datang.

2.Menyampaikan materi wawancara yang akan dilakukan.

3.Datang sesuai waktu yang disepakati.

4.Tidak membawa contoh cetakan media (karena banyak dijual di masyarakat).

5.Selesai wawancara, tak meminta dan tak mau diberi uang

6.Setelah dimuat, tidak datang lagi untuk meminta imbalan.

Untuk itu, Dedi juga memberikan tip untuk mengantisipasi wartawan bodrek. Berikut beberapa tipnya.

1.Biasakan menerima tamu yang sudah berjanji datang, kecuali teman-teman dari dinas (walau, biasanya mereka datang juga dengan perjanjian).

2.Buat prosedur penerimaan tamu dengan membuat buku tamu. Minta tamu menulis data lengkapnya. Khusus wartawan atau yang tak Anda minati, fotokopi dulu KTP-nya.

3.Tugaskan satu atau dua staf Anda utk menerima tamu yg tak hendak anda temui. Lama-kelamaan dia akan punya cara hadapi para ”pengganggu.”

4.Jangan pernah memberi uang. Sebab, sekali diberi, dia akan kabarkan kepada teman-tamannya dan datang ke tempat Anda. Termasuk, yang bersangkutan akan datang lagi.

Tip itu lantas saya forward ke e-mail teman saya. Sebab, bisa jadi media atau pihak yayasannya masih awam dengan wartawan bodrek.

Jauh sebelum itu, seorang rekan pengusaha reklame pernah mengeluhkan hal serupa. Dia juga diperas oleh si wartawan bodrek via telepon. Namun, rupanya rekan saya tadi tanggap. Setelah si wartawan awu-awu itu ber-bla-bla-bla, teman saya lantas menjawab: ”Asu!” Suara telepon langsung diputus.

Surabaya, 24 Oktober 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline