Lihat ke Halaman Asli

Missed The Point Completely

Diperbarui: 11 Februari 2016   10:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mega proyek pembangunan kereta cepat (high speed train) Jakarta-Bandung adalah episode lanjutan dari beberapa kebijakan pemerintah era Jokowi saat ini. Bicara soal visi ke depan semua program pasti punya tujuan dan hasil yang positif bagi kepentingan umum. Namun tanpa mengurangi rasa hormat dan menegasikan hal tadi rasanya Mega proyek pembangunan Kereta Cepat ini harus di kaji ulang kembali apakah tepat dan memang menjadi bagian yang harus di prioritaskan. Bila di lihat bukankah kebijakan kereta cepat jakarta-bandung ini bertentangan dengan apa yang menjadi prioritas jokowi awal, yang juga bisa di katakan sebagai janji pemerintahan Jokowi-JK. Perspektif kepemimpinan Jokowi yang memiliki visi pembangunan Poros Maritim sebagai prioritas nasional. Seharusnya Presiden Jokowi lebih fokus dan konsisten dengan visi yang sangat bermartabat ini, jujur saja pendapat saya bahwa mega proyek kereta cepat Jakarta-Bandung jelas sebuah missed the point completely. Konsep maritim indonesia adalah konsep Jokowi yang di tunggu implementasi buktinya oleh rakyat. Bila di lihat dari segi yang lain bahwa Kita ini bangsa "alon-alon asal klakon", "biar lambat asal selamat, takkan lagi gunung dikejar" dan gunung yang dikejar itu di Bandung! Jadi secara konseptual, kultur, dan tehnis sekalipun, kereta cepat ke Bandung itu salah alamat (missed the point completely) atau tidak relevan dengan konsep bernegara kita secara integral, kekinian dan ke-Indonesiaan. Banyak spekulasi yang berkembang ditengah masyarakat terkait Mega Proyek senilai USD 5,5 Milliar/ 76 Trilliun ini, ada Pro dan Kontra terkait hal ini, saya pribadi saat ini masih menyangsikan kebijakan ini. pemerintah harus mengkaji ulang kembali, sekaligus mengembalikan visi poros maritim pada tempat sejatinya dalam pemerintahan. Bangunlah infrastruktur untuk daerah-daerah yang belum memiliki jalan setapakpun, bangunlah jembatan-jembatan penyebrangan sungai-sungai supaya anak-anak kita jangan lagi naik perahu atau menggantung ditali jembatan hanya untuk pergi ke sekolah. Kalau mau membangun transportasi kereta api, fokuslah ke proyek kereta api di Kalimantan, Sulawesi, dan di Papua.

Hal yang harus di kritisi lainnya antara lain adalah pernyataan Menteri Negara BUMN yang menyebutkan ini murni bisnis ( business to business ) sedangkan fakta dalam prakteknya melibatkan BUMN?

Bukankah kekayaan negara yang ada di BUMN ini bagian dari keuangan negara yang dijamin Undang-undang. Pemerintah harus mampu memahami pasal 33 UUD 45 dengan baik, Jika menurut logika sederhana saja dapat kita gunakan berdasar juga kepada memori dan pemahaman sejarah kita yang kuat, seharusnya persoalan ini bukanlah berada di wilayah abu-abu. Sehingga Pemerintah sebagai pengelola dana tidak boleh main-main dalam menentukan perencanaan pembangunan terhadap infrastruktur, Manfaat dari aset negara ini harus terdistribusi secara merata dalam bentuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bukan kesejahteraan golongan atau kesejahteraan asing.

Mega Proyek Kereta Cepat yang melibatkan BUMN ini bukanlah an sich business to business, jangan tipu-tipu karena secara konstitusional ini adalah wilayah negara, oleh karena itu rakyat berhak mengerti, mengkritisi bahkan beraksi jika itu merugikan kepentingan bangsa. “BUMN adalah milik negara dan negara yang menjamin eksistensi semua BUMN, jadi tidak bisa masuk ke pola hubungan Business to Business"

Pertanyaan tentang urgensi ini pun perlu dijelaskan lebih detail begitupun tentang visi mega proyek ini untuk 20 sampai 30 tahun ke depan karena biaya pembangunan kereta cepat sangat besar, diperkirakan dana KA cepat Jakarta-Bandung sepanjang 140,9 kilometer yang mencapai US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 76 triliun. Biaya itu bukan berasal dari pengalihan subsidi BBM melainkan setoran equity 25% konsorsium empat BUMN senilai hampir Rp19 triliun dan sisanya 75% berasal dari pinjaman China terhadap empat BUMN (Waskita, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, PT Kereta Api Indonesia (Persero), dan PT Perkebunan Nusantara VIII) yang harus dilunasi selama 60 tahun. Pinjaman ini memakan waktu yang cukup lama, dan khawatir ini akan menjadi beban yang berkepanjangan apabila tidak di imbangi dengan kemanfaatan nilai dan fungsi dari rencana proyek ini. Lalu pernahkah berpikir tentang bagaimana konsekuensi terhadap BUMN kita bila proyek ini gagal, Kalau kontraktor itu lalai atau wanprestasi mengerjakan proyek kereta cepat itu, apa yang akan terjadi dengan pinjaman kepada konsorsium empat BUMN Indonesia. Yang namanya utang ya tetap utang. Yang harus dicicil utang pokok plus bunganya jika telah jatuh tempo.

Apalagi kontraktor pelaksana teknis pembangunan kereta cepat itu adalah pihak China sendiri yang mungkin akan membawa tenaga kerja dari sana pula. Apabila gagal China tidak akan mau pusing dengan kelalaian kontraktornya sendiri, sengaja atau tidak sengaja, yang namanya utang ya harus bayar. Jika tidak mampu membayar bukan mustahil China akan akuisisi saham empat konsorsium BUMN. Maka China akan menguasai BUMN Indonesia. Pernahkah terpikir akan konsekuensi ini?

Apabila tujuannya hanya untuk efesiensi waktu sehingga mendukung mobilitas kehidupan perekonomian kota bandung-jakarta beserta beberapa daerah penghubung lainnya, rasanya sangat kurang tepat. Karena faktanya jalur transportasi antara kota bandung - jakarta sudah banyak alternatif, dengan transportasi yang sudah ada saat ini apakah dengan jalan Tol Cipularang, kereta api dan pesawat terbang Jakarta-Bandung masih belum cukup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline