Lihat ke Halaman Asli

YANELIS PRASENJA

Tukang Sol Sepatu

Seorang Anak yang Jenius

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Muhamad Rizal adalah seorang bocah yang berumur 12 tahun dengan pengetahuan yang diatas rata-rata teman sebayanya. Tubuh yang kecil dan mungil ini, kita tidak akan berfikiran bahwa Izal (begitu orang menyapanya) sudah lulus SD dan sedang mendaftar SMP.

Mungkin secara nilai, Izal tidak begitu spektakuler, NEM SDnya rata-rata 8,233 yang dimana rata-rata NEM tersebut menajdi nem terendah pada beberapa SMP di Jakarta. Nilai tersebut juga tidak bisa dianggap rendah, karena nilai tersebut berasal dari kemampuan si siswa yang murni dan tidak ada penambahan dari sudut pandang obyektifitas.

Bukan hanya itu nilai unggulan dari Ijal, tetapi daya tangkap, ketekunan dan imajinasi serta kemampuan berkomunikasinya inilah yang menjadikan ia sebagai seorang anak yang aku anggap spektakuler. Bagaimana tidak, jika anak yang berumur 12 tahun ini sudah sangat pandai menganalisis berbagai macam permasalahan yang ada dari isu lingkungan, politik, teknologi bahkan Ijal pun mempunyai kemampuan menganalisis karakter dan watak seseorang hanya dengan melihatnya saja.

Dengan gaya bicara yang serius dan fokus, Ijal mampu menjawab setiap pertanyaan dari kami yang notabene lulusan perguruan tinggi. Ketika ditanya tentang peta politik pada Pilkada Jakarta pun Ijal mampu menjawab bak politikus yang handal. Bahkan setiap jawaban dari setiap perdebatannya sungguh-sungguh sangat mengesankan.

Dengan kepercayaan dirinya yang sangat tinggi ini dia mampu memberikan solusi atas permasalahan yang kami lontarkan dengan bahasa yang lugas dan ilmiah. Benar-benar diluar logika kami dan sungguh membuat orang-orang yang mendengarnya geleng-geleng kepala.

Saat sedang diajak ngobrol dan ia diberikan sebuah buku/bahan bacaan, Ijal pun akan membacanya disela-sela obrolan. Setiap mengobrol, Ijal selalu menatap mata lawan bicaranya yang menandakan keseriusannya menangkap setiap kata yang dilontarkan lawan bicaranya. Yang membuatku tercengang adalah saat kita tanya tentang isi dari buku/bahan bacaan itu, Ijal mampu menjelaskan dengan gamblang isi dari bacaan tersebut.

Yah itulah Ijal, Kemampuan dan wawasan yang tinggi itu sebenarnya bukan semata-mata dia miliki. Tapi dari ketekunan dan kemauan untuk belajarlah yang membuat dia menjadi golongan anak yang jenius. Sejak SD Ijal sudah senang membaca, koran-koran bekas sebagai pembungkus pun ia lahap habis untuk dibacanya sebelum ia buang. ketika sedang membaca koran bekas dan belum selesai dibacanya lalu kita rebut dan membuangnya, Ijal akan menangis dengan keras karena rasa penasarannya belum terpuaskan akan berita yang sedang dibacanya.

Ijal sering bermain di warnet menemani teman-temannya yang bermain game online. Tetapi Ijal sangat berbeda dengan teman-temannya, apabila ia punya uang untuk menyewa, Ijal tidak hanya sekedar bermain game online tetapi ia juga suka mencari berita/informasi yang membuat dirinya penasaran. Karena memang Ijal adalah anak yang haus akan bahan bacaan.

Terkait silsilah keluarganya, Ijal hanyalah anak dari ibu pedagang gorengan dan ayah tukang ojek. Sejak lulus SD baru-baru inilah, orang tua Ijal menyatakan untuk tidak menyanggupi menyekolahkan Ijal ke pendidikan lanjutnya. Karena untuk membayar rumah yang dikontraknya seharga Rp. 800.000/bulan saja orang tua Ijal merasa tidak mampu. Sekarang mereka menempati bangunan bekas bongkaran PT. KAI yang masih dibiarkan begitu saja.

Karena kemampuan, kemauan dan semangat yang kuat dari Ijal-lah, orang tuaku tergugah untuk mau membantu membiayai Ijal sekolah. Harapan orang tuaku hanya satu, yaitu tidak mau menyia-nyiakan potensi seorang Rizal dan membiarkannya meredup hanya karena ketidakmampuan orang tua.

Setelah berkacamata dari si Ijal kecil ini, secara spasial pun saya berfikir sudah berapa banyak potensi anak-anak pintar dan hebat tidak terkelola dengan baik? Tentu saja permasalahan utamanya adalah kemiskinan. Ketidakmampuan “simiskin” membiayai anak-anaknya untuk dapat bersekolah dan mengenyam pendidikan. Biaya pendidikan dianggap menjadi beban bagi keluarga yang sudah terperangkap dengan yang namanya kemiskinan. Sungguh sangat disayangkan potensi dan kemampuan anak yang sebenarnya adalah aset ini menjadi tidak terkelola dengan baik.

Salam Hangat dari orang yang sadar bahwa pendidikan itu penting.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline