Lihat ke Halaman Asli

Menggantung Impian

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_122164" align="aligncenter" width="500" caption="Pictures created by Anak Agung Adi Prasetya"][/caption]

Menuju pagi disebuah pojokan Jakarta, menatap langit yang membiru, indah sekali. Sebatang Djarum pun ikut menemani pagi itu. Entah apa lagi yang ada dipikirannya, nasib seorang mahasiswa perantauan yang mencari selembar kertas pengakuan kepada dunia. Jam tua itu seperti biasa mengingatkan tuannya untuk segera bergegas mendengarkan cerita-cerita sumbang dari dosennya. Jono, laki-laki desa blasteran jawa dan sunda. Memasuki semester akhir, ia seakan-akan kehilangan semangatnya semenjak kepergian ibunya. Ibunya bak sahabat yang selalu mendengar kisahnya setiap saat. Ya..apa boleh dikata, takdir berkata lain, ketika nafas berhembus dan kita baru menyadari hidup ini hanyalah titipanNya.

Pukul 09.00, perkuliahan dimulai, seperti biasa terasa menjemukan baginya. ” Masuk kiri keluar kanan” mungkin itulah kalimat yang pas menggambarkan Jono di kelas mata kuliah Hukum pagi itu. Sejenak pikirannya dimanjakan oleh cita-cita masa kecilnya menjadi seorang dokter, “seandainya jadi dokter, pasti lain lagi ceritanya.” Ya, maklumlah biaya untuk kuliah kedokteran jaman sekarang mungkin tidak sebanding dengan kondisi Jono, yang orang tuanya hanya petani di desa. Ketika kepintaran dan kemampuan tidak lebih berarti dari “uang”, mungkin disanalah waktu kita untuk selalu mengejar impian kita.

“Jon, Jon.. JONNN!!” teriak Juni, sohibnya sejak SMA yang kebetulan satu jurusan hingga kini. “Ayo pulang, kuliah udah selesai, benggong mulu sih”. “Eh, iya? udah selesai?” jawabnya kaget. “Bosen Jun dikelas, gile aje ga pernah konsen ” lanjutnya. “Kenapa Jon? kok kayaknya lagi mumet? ada masalah?” tanya Juni. “Enggak kok, ga ada apa-apa. Ayo pulang Jun” jawabnya.  Menikmati Jakarta dengan angkot-angkotnya adalah kebiasaan mereka, memang angkot yang paling pas dengan kantong mahasiswa sekelas Jono.

Ditengah hiruk pikuk siang itu tiba-tiba terjadi kegaduhan diseberang jalan, orang-orang terlihat ramai berkerumun disela-sela beberapa polisi berpaiakan lengkap. Karena kebetulan lewat, Jono pun mendekati kerumunan itu. Ternyata ada seorang ibu yang bersimbah darah karena tertabrak lari oleh mobil. Ambulance berdatangan dari ujung jalan hendak membawa ibu tersebut, melihat kejadian itu Jono membantu membawa ibu tersebut ke UGD terdekat beserta dengan beberapa orang lainnya. Setelah menjalani beberapa perawatan, dokter jaga memberitahukan bahwa ibu itu kekurangan darah dan kondisinya sangat kritis, oleh karena itu dibutuhkan donor darah golongan AB untuk membantunya karena persediaannya terbatas. Keadaan semakin tegang ternyata orang-orang yang mengantar tadi tidak ada yang bergolongan AB. Tak terkecuali Jono, meskipun mengetahui dirinya bergolongan darah AB, ia hanya membisu. Batinnya berontak ketika ia kini dihadapkan pada kondisi yang sama, saat detik-detik terakhir kepergian ibunya. Saat itu ibunya dalam keadaan yang sama, namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Sejenak air matanya menetes membawanya pada penyesalan yang dalam. Sungguh malang nasib ini.

“Pak, Saya bersedia untuk mendonorkan darah saya” tiba-tiba katanya memecah kebisuan di ruang itu. Semuanya menoleh kearahnya. “Darah saya AB.” lanjutnya singkat. Dua jam berlalu, semuanya menunggu dengan tanya di luar ruang UGD. Sosok pemuda itu akhirnya keluar dengan tertunduk lesu, semuanya menghampirinya. “Bagaimana? Sudah? Bagaimana ibu itu? Apa kata Dokter?” tanya orang-orang itu. “Ia selamat,” jawabnya singkat. Dua minggu setelah kejadian itu, ibu tersebut menemui Jono, pemuda yang telah membantunya. Ia mengucapkan terima kasih kepada Jono, tangisnya pun tak terbendung. Suasana haru menyelimuti saat itu. Dalam angannya Jono tersentuh dengan ketulusannya. Menggantung sebuah impian untuk menyambung hidup, demi anak-anaknya kelak. “Seandainya ibu saya masih hidup” gumamnya.

Prasasta Adi Putra 2010, tulisan ini juga dimuat di http://putuprasasta.wordpress.com/




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline