Lihat ke Halaman Asli

Malu Jadi Benalu

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Di suatu sudut Pulau Dewata, dalam derasnya hujan sore itu seorang tua berteduh sepulang dari sawah, di sebuah balai di suatu pematang sawah bersama putra sulungnya, Wayan. Sambil meneguk sisa air dalam botol dia berkata, "Yan, hanya itu warisan bapak kelak", seraya menunjuk hamparan tanah luas yang sedang disemaikan padi. Guratan wajah tuanya seakan menyesal ketika tidak mampu melanjutkan pendidikan anaknya hingga sarjana. Hanya bermodal panen padi di jaman sekarang sepertinya mustahil bisa hidup nyaman dan berkecukupan. Maklum harga-harga semua meroket sedangkan petani, ya masih begitu-begitu saja. "Pak, boro-boro bicara warisan, ga baik", Jawab putranya singkat. "Biar kita cuma petani tapi hasil kerja kita kan halal Pak, buat apa juga sekolah setinggi langit kalau ujung-ujungnya korupsi kayak pejabat-pejabat sekarang", lanjutnya. "Huss..., ndak boleh gitu, sekolah itu penting  nak, bapak ngak mau kamu kayak bapak, kamu harus jadi anak yang berhasil, katanya sembari merangkul putranya.

Hujan pun semakin reda, dan mengantarkan mereka pulang ke pondok. Kedatangannya disambut aroma sayur kangkung dan tempe goreng buatan ibunya, sungguh nikmatnya. Ya begitulah hidup mereka, hidup di sebuah pulau yang konon terdengar karena alamnya, kesederhanaan bagaikan sebuah tradisi bagi mereka. Malam pun semakin larut, ditengah keceriaan jangkrik yang menikmati sisa-sisa hujan di sore tadi, Wayan larut dalam lamunannya. Dia terngiang-ngiang perkataan bapaknya tadi tentang  warisan. Delapan belas tahun, terlalu dini baginya untuk memikirkan hal ini jika dibandingkan dengan remaja seusianya yang kini disibukkan dengan keglamoran dunia. Tiba-tiba terlintas dipikirannya, "kasihan bapak, sudah tua tapi setiap hari harus kerja", sejenak ia mengangguk entah apa yang dia rencanakan.

Esok paginya, ketika bapaknya sedang mengasah sabit untuk dibawa ke sawah, Wayan mendekatinya sambil membawakan secangkir kopi buatannya. "Minum kopi dulu pak", "Iya Yan", "Pak.., sekarang saya saja yang ke sawah, bapak dirumah saja," katanya pelan, "Saya mau BELAJAR jadi PETANI pak". "Jadi petani ya nggak usah belajar Yan, ini nasib namanya,", jawab orang tua itu dengan senyum kecilnya sembari berdiri mengambil keranjang rumput yang sudah disiapkannya. Lalu tiba-tiba Wayan memeluk bapaknya, "Pak, saya bangga punya bapak petani, saya MALU jadi BENALU melulu Pak". Mendengar kata-kata anaknya, seketika berkaca-kacalah mata sang tua. Ia merangkul anaknya. Tidak pernah terpikir olehnya, anak semata wayangnya berpikiran sejauh itu. "Terimakasih Yan, Bapak bangga", diiringi isak tangisnya.

Beberapa tahun kemudian, Wayan beserta pemuda sekampungnya berhasil menjadi petani yang sukses, hasil panennya melimpah ruah, bahkan mampu membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain, meskipun tidak sarjana dia bisa membanggakan orang tuanya. Sebuah semangat telah mengajarkannya arti perjuangan dan tauladan hidup, sebuah kata-kata penyemangat yang sering kita dengar namun terlintas begitu saja ditelinga kita, "MALU jadi BENALU"

(Putu09)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline