Lihat ke Halaman Asli

Andreas Prasadja

TERVERIFIKASI

Ngorok Aja Kok Repot

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Saya teringat di tahun 2005 ketika awal mulai berpraktik di sleep disorder clinic, ada seorang pasien yang amat khas menderita sleep apnea. Sebut saja namanya Bpk. Arman.

Bpk. Arman datang mengeluhkan rasa lelah dan mengantuk sepanjang hari. Ia juga menekankan bahwa ia bukan seorang pemalas. Bahkan ia seorang pekerja keras. Hingga 10 tahun yang lalu ia termasuk orang yang workaholic. Karenanya ia dapat mencapai jabatan tinggi di usianya yang maih terbilang muda. Tetapi selama 10 tahun belakangan, perlahan ia mulai merasa lelah berkepanjangan. Semula ia abaikan gangguan ini. Tetapi lama kelamaan kelihatannya semakin berat hingga mempengaruhi performa kerjanya.

Bertahun-tahun ia berkeliling “berbelanja” dokter. Berbagai spesialis ia kunjungi, hingga perlahan kesehatannya mulai memburuk. Tekanan darah meningkat, sakit kepala kerap mendera dan ia pun semakin sulit berkonsentrasi. Pada suatu ketika ia bahkan harus menanggung malu karena tertidur di tengah rapat penting.

Saat pertama bertemu, ia sudah sampai pada titik akan menyerah. Dengan jujur ia ceritakan bagaimana kehidupan perkawinannya meretak akibat sifatnya yang menurut istrinya tak punya motivasi dan tak bersemangat. Perusahaannya pun mulai meminggirkan jabatannya.

Dengan beberapa pertanyaan saja, sudah dapat dipastikan penyakit yang dideritanya. Tetapi dibutuhkan pemeriksaan di laboratorium tidur untuk tegakkan diagnosa. Ya, Bpk. Arman mendengkur dalam tidur dan ia menderita sleep apnea.

Sekilas Sejarah

Sebenarnya gangguan tidur ini sudah ada sejak lama. Sedihnya, di era kedokteran molekuler ini, satu penyakit yang demikian luas diderita, dan demikian berbahayanya seolah luput dari pengamatan dokter.

Di tahun 1956, sekelompok ahli paru di Amerika meneliti tentang adanya pasien yang amat gemuk dan selalu mengantuk. Mereka menyebutnya dengan sebutan “Pickwickian Syndrome” mengambil tokoh Joe si anak gendut yang dituliskan oleh Charles Dickens yang terbit pada koran Pickwick. Joe digambarkan sebagai anak gendut, pemalas yang terus mengantuk, bahkan tertidur pada saat berdiri. Namun sayangnya kelompok peneliti ini hanya memeriksa pada saat subyek terjaga. Mereka menghubungkan kantuk berlebihan dengan kadar karbondioksida darah yang tinggi. Andai mereka mengamati tidur para subyek mereka akan melakukan penemuan luar biasa!

Baru di tahun 1965, ada dua kelompok peneliti Eropa yang menyatakan bahwa penderita Pickwickian Syndrome mengalami henti nafas secara periodik saat tidur. Sayang penelitian ini kurang mendapat perhatian, sebabnya sederhana, dunia kedokteran tak menganggap penting segala sesuatu yang berkaitan dengan tidur.

Tahun 1970, Prof. William Dement yang kini dikenal sebagai Bpk. Kedokteran Tidur, diminta untuk memeriksa pasien-pasien Pickwick. Penelitiannya mengkonfirmasi penelitian-penelitian sebelumnya tentang henti nafas saat tidur. Tapi istilah sleep apnea baru dikenalkan pada dunia setelah Christian Guilleminault bergabung dalam penelitian Dement di tahun 1972.

Jika sebelumnya Dement beranggapan bahwa ngorok dan sleep apnea disebabkan oleh obesitas, Guilleminault mengusulkan agar pemeriksaan tidur mulai memeriksa juga fungsi-fungsi pernafasan dan jantung pasien, dan merubah wajah kedokteran tidur secara drastis. Dahulu semua pasien dengan kantuk berlebihan dianggap sebagai narkolepsi. Tapi Dement dan Guillemanault menyadari bahwa mungkin juga banyak pasien yang semula dikira menderita narkolepsi ternyata menderita sleep apnea. Benar saja, pemeriksaan tidur pada pasien-pasien berikutnya ternyata menunjukkan bahwa kebanyakan dari mereka menderita sleep apnea.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline