Kemarin di gereja aku mendengar sebuah pernyataan yang menarik dari seorang pendeta besar yang sedang berkhotbah di atas mimbar.
Kisahnya, beliau sedang berada di Amerika Serikat, saat itu terjadi dialog dengan beberapa tokoh gereja di sana. Karena kalangan gereja sedang galau atas keputusan yang melegalkan pernikahan sejenis.
Peraturan gereja tersebut menyebutkan bahwa pernikahan hanya bisa dilakukan oleh pria dan wanita. Dengan adanya peraturan lebih tinggi yang melegalkan pernikahan sejenis, maka peraturan gereja tersebut bisa digugurkan.
Gereja di Amerika Serikat tersebut di atas adalah aliran Pentakosta yang meyakini bahwa LGBT adalah penyimpangan dan merupakan kekejian bagi Tuhan, suatu dosa besar. Namun, karena sudah dilegalkan apabila mereka menolak perkawinan sejenis gereja bisa saja didenda dan atau pendetanya dipenjarakan.
Salah seorang tokoh gereja di atas bertanya kepada pendeta dari Indonesia; Bagaimana situasi LGBT di Indonesia? Akankah berakhir seperti di Amerika Serikat?
Pendeta tadi menjawab; LGBT di Indonesia pun cukup marak. Namun kami mempunyai keyakinan bahwa penyebaran LGBT atau legalisasi pernikahan sejenis tidak akan terjadi karena adanya Islam di Indonesia. Heleluya.
Islam sebagai agama mayoritas di tanah air yang budayanya sudah mendarah daging di setiap insan bangsa ini. Walau saat ini tengah “digempur” faham radikal dari luar terhadap penganut Islam Nusantara, namun para penganutnya semakin tersadarkan untuk menjadi umat yang menampilkan citra Islam yang rahmatan lil alamin.
Menyoal kasus LGBT, di dalam Al-Qur’an Surah An-Naml : 54-58 menyatakan:
Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia Berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah[1101] itu sedang kamu memperlihatkan(nya)?”
”Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)”.
Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; Karena Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (menda’wakan dirinya) bersih[1102]”.