Teringat waktu kecil, dikampung saya, ditepi barat Jogjakarta hanya ada 3 entertain yang bisa dinikmati, pagelaran wayang kulit, ketoprak dan layar tancep. Dari ketiganya yang memberi kesan mendalam adalah kesenian wayang kulit. Kekaguman terhadap pertunjukan wayang kulit adalah karena bentuk kesenian ini menggabungkan 3 eleman dasar seni; seni lakon, seni gambar dan seni suara. Menginjak remaja hingga dewasa saya masih senang dengan wayang kulit. Sayangnya jarang sekali ada pertunjukan wayang kulit. Hanya melalui media radio, yang sering nyetel kaset wayang kulit semalaman. Masalahnya adalah, kemudian saya kuliah di semarang, dimana radio semarang lebih sering menyiarkan wayang kulit gagrak solo yang kurang nyaman kalau hanya dengan mendengarkannya. Lulus kuliah, saya bekerja di Jakarta, tambah tidak ada harapan lagi bisa menikmati siaran wayang kulit. Alhamdulillah, di era sekarang saya bisa menikmati siaran wayang kulit lewat media steaming, nyetel radio2 jogja, juga bisa unduh wayang di internet. Tapi, walaupun saya mencintai seni wayang, jujur, saya minder dengan hobi saya ini. Lingkungan dan teman teman menilai wayang adalah 'kuno', 'ndeso', 'manula', dll.. Mereka tidak pernah setuju dengan dengan berbagai argumentasi. Ironi, karena image itu tidak hanya ada pada seni wayang tapi di semua lini seni tradisional Indonesia. Seperti yang pernah saya tulis tentang nasib batik indonesia, justru bisa booming setelah hendak dirampas oleh Malaysia. Kini saya menunggu nunggu moment seperti ini terjadi pula pada seni wayang. 'WAYANG DI KLAIM MALAYSIA'. Kemudian bangsa Indonesia tidak terima, gragapan mengingat apa wayang itu, kemudian bereforia menjadikan seni wayang sebagai bagian dari gaya hidup bangsa, terbangkitkan selera bangsa terhadap kesenian ini. Mimpi kali ye.. [caption id="attachment_190168" align="alignnone" width="240" caption="Kurukshetra, lokasi tempat Bharatayuddha berlangsung (di India)"]
[/caption] Sayangnya.. wayang kita juga 'hasil curian' dari India. Bahkan India mengklaim bahwa perang Bharatayuda terjadi di daerah India. Ditengok dari asal muasalnya, seni wayang India lebih sepuh daripada seni wayang kita. Walaupun mengalami pergeseran cerita dan penokohan, faktanya seni wayang India bisa berkembang baik di Indonesia. Dan India tidak pernah berteriak 'maling' pada Indonesia tentang wayangnya. India seperti justru terpacu untuk menyajikan wayang dengan lebih menarik. Salah satunya dengan film kolosal yang pernah ditayang oleh stasiun televisi swasta Indonesia. Dan yang paling menarik adalah penokohan 'Little Krisna' dalam film kartun yang sudah populer dikalangan anak anak. [caption id="attachment_190171" align="alignnone" width="300" caption="Ironi, anak anak Indonesia justru kenal tokoh wayang lewat media luar negri"]
[/caption] Beginilah semestinya Indonesia bersikap, bukan hanya berteriak 'Maling...' tapi tidak berbuat apa apa pada yang 'dimaling'. Bagai ngingu wedus ragelem angon ra gelem ngarit. Jadi, masih bisakah berharap Malaysia mengklaim wayang kita agar rating wayang kita naik? ...tapi, masak maling mau teriak maling? po, june24 '12
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H