Lihat ke Halaman Asli

Hadi Pranoto

Penikmat kopi pahit

Menjelang Idul Adha dan Bulan Kemerdekaan di Tengah Pandemi, Membaca Pesan-pesan Pengorbanan

Diperbarui: 29 Juli 2020   13:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto;ketika warga di dusun Sumbergondo,desa Tulungrejo di kecamatan Glenmore menghiasi jalan dengan potongan bambu yang ditancapkan dengan stride di sepanjang bibir jalan kampung.Memberinya cat warna Merah dan putih sesuai dengan warna bendera kebanggaan RI. | dokpri

Geliat masyarakat menyambut kemerdekaan sudah mulai nampak.Tradisi menghias jalan dan aneka perlombaan yang jadi ciri khas di bulan kemerdekaan pun sudah mulai terasa aromanya. Tapi di tengah pandemi aneka tradisi perlombaan itu jelas tidak akan semeriah momen tanpa keberadaan pandemi.

Momentum Agustus kali ini benar-benar berbeda karena kita memperingatinya bersama Hari Raya Qurban sekaligus ancaman pandemi yang masih berlangsung.

New normal membawa konsekuensi terhadap pembatasan ruang gerak dan interaksi sosial sehingga masyarakat bisa dipastikan memiliki cara dan gaya baru,di satu sisi tetap tidak kehilangan semarak momentum di sisi lain cukup aman dari risiko virus C-19. 

Dalam upaya menyongsong dua momentum besar tadi; Kemerdekaan dan Hari Raya Qurban. Besarnya makna bagi masyarakat Indonesia tentang momentum tersebut, khususnya bagi umat beragama Islam karena memuat histori akan sebuah "pengorbanan". Pengorbanan para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia dan pengorbanan seorang Ismail atas tunainya perintah "penyembelihan" dari Tuhan oleh Nabi Ibrahim.

Bagi masyarakat Indonesia memperingati hari kemerdekaan sudah menjadi budaya kesadaran reflektif masyarakat. Di mana masyarakat secara responsif mengenang para pejuang yang dengan gagah berani rela mengorbankan jiwa dan raganya melawan kolonialisme dan imperialisme demi tegaknya Indonesia merdeka, dengan pernak-pernik hiasan di sepanjang jalan mulai jalan kecil di pelosok-pelosok kampung hingga kota-kota besar dan juga pengadaan berbagai event lomba. Adalah simbol suka-cita ungkapan kongkret rasa syukur atas lahirnya kemerdekaan negeri ini di 17 Agustus 1945.

dokpri | Menggunakan media bambu sebagai pengingat senjata andalan para gerilyawan kemerdekaan

Melalui lomba-lomba yang diselenggarakan di bulan kemerdekaan ini pun, kita dapat membaca makna kompetisi yakni perjuangan untuk sebuah hadiah yang bernama "kemenangan". 

Kompentisi sendiri merupakan metode yang dapat mendongkrak majunya sistem demokrasi. Dengan ketatnya persaingan setiap orang baik yang di pemerintahan ataupun tidak akan dipacu untuk memberikan cara, gagasan dan kinerja yang berkualitas, sehingga taraf hidup masyarakat secara gradual akan mengalami peningkatan. 

Taruhlah, ketika pilkada para kontestan akan bersaing dengan ketat menawarkan ide, gagasan, visi dan misi terbaik mereka untuk dibaca dan menarik konstituen. Kontestan yang terpilih akan bekerja semaksimal mungkin memenuhi atau paling tidak mendekati gagasan dan visi-misi yang diusungnya untuk kepuasan publik.

Sedangkan yang tidak terpilih akan menjadi kontrol bisa juga mencari celah-celah kesalahan dan ketimpangan dari kompetitornya untuk dijadikan lompatan pencalonannya di kemudian hari, untuk menawarkan gagasan visi-misi yang baru sebagai alternatif atas kesalahan dan ketimpangan yang berlaku, dan begitu seterusnya. Dalam ruh demokrasi hal ini cukup penting untuk menjaga keseimbangan dan terwujudnya kinerja yang ideal dalam sistem.

Pada sisi yang lain, Hari Raya Qurban di kalangan orang beragama Islam pun memuat makna penting pengorbanan. Dari kisah pengorbanan Ayah dan anak untuk memenuhi perintah Tuhan. Jelas bukan sekedar mitos atau dongeng. Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as adalah pelaku sejarah murni beda dengan kisah atau legenda dalam sebuah mitos.Kisah Nabi-Nabi ini diabadikan dalam sumber ajaran yang paling utama dalam Islam yakni al-Quran.

Bermula dari mimpi Nabi Ibrahim yang mendapat perintah untuk menyembelih putra kesayangan dan yang diidam-idamkannya, Ismail. Sebuah perintah yang sangat berat dan cukup ekstrim ini tentu saja tidak mudah dilaksanakan. 

Pertarungan ego dan ketundukan atas wahyu sedang berlangsung. Nabi Ibrahim mengutarakannya kepada Nabi Ismail perihal perintah tersebut, bukannya kaget atau pun merasa keberatan Nabi Ismail dengan penuh rela dan kepasrahan yang total, sam'an wa-tho'atan. Ego akhirnya berjalan seirama dengan cahaya "wahyu".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline