Dulu aku berpikir setiap orang layak mendapat kesempatan kedua bagi pilihan hidup yang salah. Mereka masih punya waktu, tenaga, dan pikiran, untuk memperbaiki apa yang menurutnya keliru.
Wanita yang sudah menikah pasti menginginkan kehidupan pernikahan yang harmonis, suami berpenghasilan, dan anak-anak yang cerdas. Tapi, kenyataan terkadang malah berseberangan dengan harapan. Tidak ada obat bagi seorang suami pengangguran, enggan bekerja, yang menelan ‘muntahan’uang pensiun orangtuanya demi asap rokok dan bergelas-gelas kopi serta Bodrex dan barang-barang tak penting untuk menjaganya tetap hidup di saat istrinya justru bekerja untuk membiayai kehidupan sehari-hari mereka dan anak-anaknya, ditambah lagi sang istri harus menyisihkan jatah makan untuk seorang ponakan yatim piatu yang lebih sering jadi pelampiasan akan kemarahan-kemarahannya terhadap hidup dan si ponakan hanya bisa nelangsa. Tidak ada obat bagi seorang suami yang kehilangan harga dirinya selain berusaha mendapatkan harga diri itu kembali.
Bukankah rasul mengatakan bahwa harga diri seorang laki-laki adalah dengan bekerja? tidak ada pilihan lain selain upaya untuk bekerja. Tapi lagi-lagi kenyataan justru tidak komplementer dengan harapan. Ia memilih jadi orang sombong karena pekerjaan paling pas buatnya adalah jadi manajer, bukan buruh.
Bukankah pernikahan adalah sebuah komitmen untuk jadi tim yang saling mendukung satu sama lain dalam kebaikan? Tetapi mengapa istri yang bermental baja itu lebih seperti pecundang yang tidak berani mendobrak pintu-pintu berkarat yang ada di otak suaminya? Mengapa seorang istri jadi penakut? Bahkan untuk menasehatkan kebaikan bagi dirinya, suami, dan anak-anaknya ia tak sanggup? Apakah karena cinta buta? Atau begitulah sikap semestinya seorang istri? Mengapa ia lebih senang menyiksa anak-anaknya dengan ungkapan-ungkapan verbal bernada tingginyaris hardik hingga sang anak ketakutan? Atau mengomentari habis-habisan rumah tangga orang lain yang juga tak sempurna?
Bagaimanakah sesungguhnya pernikahan ideal?
Seperti Rasul dan Khadijah dan istri-istrinya?
Seperti Habibie dan Ainun?
Mengapa pernikahan yang kuamati ini seperti neraka dunia? Apakah orang menikah memang untuk menyakiti diri sendiri dan orang-orang di dekatnya?
Masih adakah kesempatan kedua untuk memilih BERTAHAN atau PERGI? atau itulah karma buruk akibat kesalahan di masa lalunya yang entah apa?
(I haven’t married but I write this due to my surrounded mind).
(diposting di Facebook, 21 November 2016).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H