Memiliki pengetahuan mengenai kesehatan mental merupakan hal baik bagi remaja dalam mengatasi masalah mental seperti stres, depresi, gangguan kecemasan, gangguan mood, dan sebagainya. Literasi kesehatan mental tidak hanya berguna untuk masalah mental berat seperti yang disebutkan sebelumnya. Remaja dengan literasi kesehatan mental yang baik bisasanya lebih terampil dalam mengatasi masalah sehari-hari seperti kesulitan memahami pelajaran di kelas, kehilangan motivasi dalam belajar, hingga perselisihan dengan teman sebaya.
Berdasarkan perkembangannya, remaja memiliki banyak perubahan sebagai fase transisi dari anak-anak menuju dewasa. Perkembangan tersebut berupa perkembangan fisik, psikis, hingga sosio-emosional. Perkembangan-perkembangan yang terjadi pada remaja membuat mereka pun melalui fase adaptasi dengan perubahan biologis, pemikiran yang lebih kompleks, hubungan interpersonalnya yang ditandai dengan memisahkan diri dengan orang tua menuju ke teman sebayanya, serta emosi-emosi baru seperti malu, takut, cemas dan rasa ingin tahu yang tinggi.
Remaja mulai memperhatikan stigma masyarakat terhadap dirinya. Tidak sedikit remaja merasa malu untuk meminta bantuan karena stigma negatif pada saat mencari bantuan yang dia terima dari lingkungannya, sehingga enggan untuk mengakses layanan bantuan. Stigma negatif tersebut juga berdampak pada kurangnya kesadaran individu akan pentingnya kesehatan mental.
Dosen dan mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Jakarta bersinergi dengan desa binaan pengabdian masyarakat yaitu Desa Pasir Tanjung, Bogor dalam menyelenggarakan psikoedukasi untuk meningkatkan literasi kesehatan mental remaja. Kegiatan psikoedukasi tersebut dihadiri oleh remaja usia 12-18 tahun yang saat itu merupakan siswa/i SMP dan SMA di Desa Pasir Tanjung. Kegiatan ini dilaksanakan pada Minggu, 18 Juni 2023 yang dimulai dari pukul 9.00 WIB.
Kegiatan ini diawali dengan pengisian pre-test literasi kesehaan mental mereka yang dilanjutkan dengan penyampaian materi yang berisi konsep dasar literasi mental oleh Ibu Ernita Zakiah, M.Psi, Psikolog. Pada proses pemaparan ini ternyata masih banyak remaja yang belum tahu tenaga profesional yang dapat dijadikan pilihan mereka untuk meminta bantuan ketika mereka merasakan stres, kesulitan belajar, hingga masalah keluarga. Padahal sebenarnya mereka bisa meminta bantuan pada guru bimbingan konseling, konselor hingga psikolog. Tapi karena stigma negatif yang seolah mempersepsikan mereka sebagai anak yang bermasalah, mereka jadi enggan untuk meminta bantuan.
Pada materi belajar mengenali gangguan mental oleh Ibu Dr. Phil. Zarina Akbar, M.Psi., Psikolog bahkan diketahui ada beberapa remaja yang sudah memiliki keinginan untuk bunuh diri. Isak tangis pun memenuhi keadaan ruangan yang seketika berubah menjadi sendu. Hari itu semua belajar betapa pentingnya literasi kesehatan mental bagi remaja. Meteri terakhir hari itu disampaikan oleh Ibu Mauna, M.Psi., Psikolog yang memaparkan pengetahuan dalam memberi bantuan pertama pada diri sendiri dan orang lain. Remaja dalam ruangan itu mulai menyadari bahwa diri mereka sangat berharga, setidaknya untuk menolong diri mereka sendiri.
Kegiatan yang penuh emosional ini juga diselingi dengan agenda ice breaking yang dibawakan oleh mahasiswa yang bertugas yaitu Lulu Khoiruningrum, Khadijah Nur Afifah, dan Pramudya Ardyagarini sehingga dosen dan mahasiswa memiliki keterikatan emosional yang lebih dekat. Terlihat remaja disana merasa senang dengan riang canda tawa yang tersaji dalam selingan pemaparan materi tersebut. Kegiatan psikoedukasi pun terasa seperti bagian dari langkah awal mereka dalam proses healing untuk memerdekakan perasaan dari jeratan ketidaknyamanan yang dirasakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H