PERKEMBANGAN teknologi digital yang merambah semua lini kehidupan manusia saat ini tentu tak terbayangkan bakal merubah banyak hal, terutama tentunya di industri media massa.
Anak milenial, apalagi Gen Z pasti gak ngeh dengan peralatan kerja macam mesin ketik. Atau misal manfaat mesin facsimile (faks/fax). Bahkan sekali pun mereka menggeluti dunia jurnalistik. Karena sekarang semua ada di satu genggaman, yaitu telepon pintar atau bisa pula dilakukan menggunakan laptop.
Saya bersyukur dapat kesempatan mengikuti perkembangan itu secara langsung, mulai pakai mesin ketik, komputer jadul yang memakai disket, lalu CD, dan kini flashdisk yang mudah dikantongi kemana-mana.
Terlahir dari orangtua yang bekerja sebagai staf Humas Kotamadya (sekarang jadi Kota) Surabaya, mesin ketik menjadi pemandangan sehari-hari di rumah. Mesin ketik ini pula yang kemudian menjadi alat kerja saat bertugas di Bali.
Mesin ketik, pita mesin tik, lembaran kertas, dan tip ex menjadi satu kesatuan tak terpisahkan saat mulai fokus bikin berita. Ketegangan bakal memicu stres saat mendekati deadline beberapa kali salah memencet tombol mesin ketik sehingga harus beberapa kali pula menghapusnya pakai tip ex.
Tak bisa langsung ditimpa. Kesalahan ketik yang ditutup cairan tip ex ini harus ditiup beberapa kali sampai benar-benar kering baru bisa mulai melanjutkan mengetik.
Tuntas? Belum. Langkah berikutnya adalah mencari kantor pos atau sentra telepon umum untuk mengirim berita lewat faksimile. Selanjutnya menggunakan telepon umum di tempat yang sama menghubungi mas Ale yang waktu itu redaktur daerah yang mengomando wartawan-wartawan Surya di seluruh wilayah Indonesia Timur, termasuk Bali tentunya.
Kadang mas Pieter P Gero --jurnalis Kompas yang diperbantukan di tahun-tahun awal Harian Surya bertransformasi dari Mingguan Surya---menggantikan mas Ale untuk koordinasi liputan-liputan dari reporter dari wilayah Indonesia Timur ini.
Selesai? Belum. Jika hasil kiriman berita di mesin fax Mabes (Markas Besar istilah kami untuk Kantor Pusat Harian Surya) kurang jelas, harus kirim ulang. Atau, setelah dibaca mas Ale atau mas Pieter ada kekurangan data, balik ke kos-kosan untuk mengetik ulang hingga lengkap.
Untuk proses pengiriman berita lewat mesin faksimile ini kadang dibantu mas Raka Santri, wartawan Kompas untuk area Bali memakai mesin faksimile yang ada di rumahnya. Tetapi itu jarang terjadi, karena mas Raka Santri sering punya agenda liputan lain sehingga tidak selalu siap di rumah.
Sebagai karyawan baru di Harian Pagi Surya --yang waktu itu edar nasional---dan wilayah liputan yang juga baru --Bali, saya beruntung dapat dukungan dan bantuan mas Raka Santri dan Ahmad Baraas. Kedua jurnalis Kompas ini membuat saya enjoy sehingga cepat beradaptasi dan mengenal banyak narasumber di daerah yang 'asing' ini.
Pindah Tugas Mojokerto