Lihat ke Halaman Asli

Pramono Dwi Susetyo

Pensiunan Rimbawan

Rehabilitasi Hutan Secara Empiris

Diperbarui: 14 Juli 2021   10:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan kata kunci dalam menekan dan mengurangi laju deforestasi dan kehilangan tutupan hutan (forest coverage) di Indonesia. Kata RHL mudah diucapkan tetapi sulit dilaksanakan. Disamping biayanya yang tidak murah, praktek pelaksanaannya dilapangan amat sulit dan  tidak semudah yang dibayangkan. 

Buktinya, Dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2020-2124, lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 13,36 juta hektare (2018), yang terdiri dari lahan kritis dalam hutan konservasi 880.772 hektare, hutan lindung 2.379.371 hektare, hutan produksi 5.109.936 hektare, kawasan lindung pada APL (Areal Penggunaan Lain) 2.234.657 hektare, dan kawasan budidaya pada APL 3.763.383 hektare. Kemampuan pemerintah merehabilitasi hutan rusak hanya 200.000 hektare per tahun. Sementara laju deforestasi 450.000 hektare per tahun.

Pemerintah, baik pusat maupun daerah mempunyai tanggung jawab penuh dalam hal rehabilitasi hutan baik dari segi penyediaan bibit, penanaman sampai dengan pemeliharaannya. Untuk kegiatan rehabilitasi lahan, pemerintah bertanggungjawab untuk membantu menyediakan bibit, melakukan bimbingan (supervisi) serta melakukan pengendalian dan pengawasan. Sayangnya, apa yang dilakukan oleh pemerintah (KLHK) untuk program RHL selama ini masih sebatas dalam penyajian angka-angka/ data tentang jumlah bibit yang disediakan dan  disetarakan (diequivalentkan) dengan luasan (hektare) yang dapat ditanam dilapangan. Lihat saja, dalam suatu kesempatan Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan bahwa kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), sesungguhnya telah ditingkatkan besaran luasnya.

Sebelum tahun 2019 biasanya luas kegiatan RHL hanya sekitar 23 -- 25 ribu ha, maka pada tahun 2019, kegiatan RHL sudah mencapai 207 ribu ha. Untuk tahun 2020 ini, kegiatan RHL diprediksi bisa lebih dari 403 ribu ha yang bisa ditanami setiap tahun. 

Angka-angka yang disebut ribuan hektar hutan dan lahan yang direhabilitasi bukan menjadi jaminan (garansi) bahwa pohon yang ditanam tadi pasti berhasil, karena sesungguhnya pohon yang baru ditanam baru melalui proses/ tahap pertama dari empat proses/tahapan keseluruhan keberhasilan tanaman. 

Sebagaimana diketahui, untuk menjadi pohon yang dewasa menurut ilmu ekologi hutan melalui 4 (empat) tahapan/proses yakni anakan, sapihan/pancang, tiang sampai pohon dewasa. Proses untuk menjadi pohon dewasa dari bibit mulai ditanam membutuhkan waktu 15 -- 20 tahun. Dalam kegiatan rehabilitasi hutan selama ini , KLHK hanya mampu melakukan pada proses/tahapan pertama saja, selebihnya proses-proses lainnya diserahkan kepada proses alam

Pengalaman Rehabilitasi Hutan

Pada waktu masih bertugas di Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Wilayah IX di Ujung Pandang ( sekarang Makassar) tahun 1994 di Provinsi Sulawesi Selatan, saya diberi tanggungjawab sebagai pimpinan proyek (pimpro) rehabilitasi hutan bantuan OECF-JICA (pemerintah Jepang) di Kabupaten Bone seluas 9000 hektar.

Kegiatan dan pekerjaan yang dilakukan adalah mulai dari mendesign lapangan (dalam perencanaan dan perpetaan), menetapkan jenis tanaman yang sesuai, menyiapkan persemaian/pembibitan, melaksanakan penanaman (menyiapkan lubang tanaman, ajir, piringan tanaman dan seterusnya), memobilisasi tenaga kerja, menyiapkan pencairan dana yang harus dilakukan dalam waktu 12 bulan  ( satu tahun).

Mengingat bahwa dana yang digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan ini dibiayai oleh anggaran pemerintah (meskipun bantuan luar negeri) , maka realisasi kegiatan dan keuangan harus dipertanggungjawabkan melalui mekanisme audit yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan (waktu itu) maupun Badan Pengawasan  Keuangan dan Pembangunan (BPKP)  pada akhir kegiatan penanaman. Oleh karena itu,  perlu memperkuat secara administrasi dan  teknis, dalam dokumen perencanaan yang dilengkapi dengan peta kerja yang dibuat secara detil (rigid), agar tidak ada celah lagi untuk ditafsirkan yang lain.

Masalah yang dihadapi adalah kegiatan rehabilitasi yang akan dilaksanakan dibatasi oleh waktu (12 bulan), musim tanam yang tidak bisa digeser dan batas luar luas tanaman dan jumlah tanaman yang ditanam serta jarak tanam yang ideal yang semuanya dituangkan dalam satu dokumen perencanaan yang jelas dan detil. Salah satu contoh nyata adalah jarak tanam saja sudah menjadi masalah. Seringkali jarak tanam, tanaman kehutanan sifatnya semu bila dikaitkan dengan luas lahannya. Kenapa ? lahan atau kawasan hutan yang ditanami kebanyakan topografinya miring sampai curam, kalau topografinya relatif datar biasanya luas tidak seberapa dibanding yang miring dan curam dengan kelerengan antara 40 -100 persen. Luas kawasan hutan yang ditanam dapat mencapai ratusan bahkan sampai ribuan ha. Meskipun telah dibantu oleh teknologi Global Positioning System (GPS) dan peta topografi yang paling mutakhir  sekalipun (pada waktu itu), serta pemetaan dng alat plotter (bukan manual)  ternyata deviasi yang diperoleh dari pengechekan dilapangan cukup signifikan. Batas luar lokasi dilapangan banyak ditemukan diatas air pada lembah-lembah yang mengalir sungainya. Pada akhirnya, saya memutuskan bahwa hasil pemetaan GPS dan analisis peta topografi dan dituangkan dalam peta kerja dari hasil plotter sifatnya hanya pedoman atau panduan umum. Sedang peta yang dianggap sah dan final adalah peta gabungan antara panduan umum dengan hasil groundchek lapangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline