Lihat ke Halaman Asli

Pramono Dwi Susetyo

Pensiunan Rimbawan

Kesalahan Menafsirkan Manfaat Hutan Lindung

Diperbarui: 12 Mei 2021   21:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

KESALAHAN MENAFSIRKAN MANFAAT HUTAN LINDUNG

Salah satu yang mengusik saya sampai hari ini tentang kehutanan adalah tentang pemanfaatan hutan lindung yang digunakan untuk kegiatan apa saja tanpa harus memperhatikan fungsi hutan lindung dalam menjaga kelestarian lingkungan disekitarnya. Yang terakhir adalah yang membuat tidak dapat tidur untuk memikirkannya adalah pemanfaatan hutan lindung untuk food estate melalui Peraturan Menteri LHK P.24/2020 dan sempat saya tulis di Forest Digest di Kabar Baru, 19 November 2020 dan Harian Kompas 15 Desember 2020. Alasan yang disampaikan KLHK melalui Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) adalah kawasan hutan lindung untuk food estate sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung. Kawasan sudah terbuka atau terdegradasi. Kehadiran food estate diharapkan akan memulihkan hutan dengan pola kombinasi tanaman hutan , tanaman pangan, ternak dan perikanan (pola agroforestry, silivipasture dan wanamina. Food estate akan memperbaiki fungsi hutan lindung.  Benarkah alasan yang sifatnya simplisitis (menyederhankan masalah) bisa diterima oleh semua kalangan ?

Rasa penasaran saya secara perlahan-lahan terjawab benang merahnya setelah menganalisis dan mengkaji regulasi secara komprehensif dan representatif setelah terbitnya undang-undang (UU) Cipita Kerja bidang kehutanan no.11/2020 dan peraturan pemerintah (PP) no.23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan. Bagaimana kronologis dan benang merah food estate dalam hutan lindung yang kontroversial tersebut dapat diurai sebagai berikut.

Pertama, sebagai suatu regulasi peraturan menteri LHK no. P.24/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate terbit tanggal 26 Oktober  2020, sebelum adanya UU Cipta Kerja no.11/2020 (disahkan 02 November 2020) dan PP no.23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan (disahkan 02 Februari 2021), hanya mengacu pada UU no. 41/1999 tentang kehutanan, PP no. 6/2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan dan pemanfaatan hutan, PP no.44/2004 tentang perencanaan kehutanan dan PP no. 26/2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan. Esensi pemanfaatan hutan lindung adalah pemanfaatan kawasan hutan tanpa merusak dan tanpa mengurangi fungsi utama hutan. Bentuknya adalah pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan memungut hasil hutan. Pemanfaatan kawasan hutan, misalnya untuk fungsi hidrologis dan kekayaan hayati. Jasa lingkungan, misalnya untuk wisata alam dan konservasi air. Adapun pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan lindung adalah segala bentuk yang tidak merusak fungsi utama kawasan , seperti mengambil rotan, madu dan buah (penjelasan Pasal 26 Ayat (1) UU 41/1999). Dalam PP no.6/2007, lebih diperjelas lagi dalam pasal 24 tentang pemanfaatan kawasan hutan lindung yang melakukan budidaya dibatasi hanya budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah dan budidaya hijauan makanan ternak. Lalu dimana food estate sebagai kegiatan budidaya tanaman pangan,  ditempatkan dalam pemanfaatan hutan lindung ? Apakah masuk dalam pemanfaatan kawasan hutan, rasanya tidak, apalagi jasa lingkungan atau hasil hutan bukan kayu.

Kedua, PP no. 44/2004 tentang perencanaan kehutanan, mengamanatkan bahwa pasal 24 Ayat (3b) tentang kriteria hutan lindung, tidak pernah  menyertakan kriteria vegetasi terbuka dan terdegradasi dalam menetapkan fungsi kawasan hutan lindung. Kriteria hutan lindung hanya didasarkan pada kelas lereng, jenis tanah, dan ketinggian diatas permukaan air. Kriteria hutan lindung selengkapnya adalah 1) kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skore) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih; 2) kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % (empat puluh per seratus) atau lebih; 3) kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2000 (dua ribu) meter atau lebih di atas permukaan laut; 4) kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15 % (lima belas per seratus) ; 5) kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air; 6) kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.

Ketiga, pengertian food estate sendiri adalah merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang berada di suatu kawasan lahan yang sangat luas. Hasil dari pengembangan food estate bisa menjadi pasokan ketahanan pangan nasional dan jika berlebih bisa dilakukan ekspor. Karena dilakukan secara terintegrasi dan dalam jumlah yang cukup luas maka kegiatan food estate ini dilengkapi dengan intervensi mekanisasi dan teknologi (benih, pemupukan, tata air, pemasaran dan sebagainya). Istilah food estate tidak dikenal secara tekstual maupun kontestektual dalam UU no. 41/1999, PP no. 6/2007, PP no. 44/2004  maupun PP no. 26/2020.  PP no.26/2020 pasal 22, memang mengamanatkan adanya reboisasi hutan lindung dengan sistem agroforestry dengan catatan bahwa reboisasi agroforestry dilakukan pada Lahan Kritis dengan tutupan lahan terbuka, semak belukar dan tidak terdapat aktivitas pertanian masyarakat. Pertanyaannya adalah mungkinkah aktivitas pertanian masyarakat dikawasan hutan lindung dilakukan sampai dengan luas lebih dari 30.000 ha tanpa diketahui oleh pihak kehutanan setempat ?.

Keempat, dalam PP 23/2021 pasal 129 ayat (1) menyebutkan bahwa kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung, meliputi antara lain : budidaya tanaman obat;  budidaya tanaman hias;  budidaya jamur; . budidaya lebah; . budidaya hijauan makanan ternak;  budidaya buah-buahan dan biji-bijian;  budidaya tanaman atsiri;  budidaya tanaman nira;  wana mina (silvofishery);  wana ternak (silvopastural);  tanam wana tani (agroforestry);  dan wana tani ternak (agrosiluopastura). Ayat (2) menyatakan  kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung  dilakukan dengan ketentuan: a) tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya; b) tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; c) tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan d) tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam.

Kelima, secara tekstual istilah food estate baru muncul pada PP no.23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan yang terbit belakangan setelah peraturan menteri LHK P.24/2020 tentang food estate di hutan lindung. Dalam PP tersebut food estate disebut dalam pasal 16 ayat (4), pasal 19 ayat (4), pasal 31 ayat (3), pasal 58 ayat (4), pasal 94 ayat (8), pasal 103 ayat (2), pasal 114 ayat (2 dan 3), pasal 115.

Dalam pasal 155 disebutkan bahwa penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan ketahanan pangan (food estate) dengan mekanisme penetapan kawasan hutan untuk ketahanan pangan dilakukan pada: a). kawasan hutan lindung; dan/atau b) kawasan hutan produksi. Kawasan hutan lindung untuk food estate diarahkan pada kawasan hutan yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung dilakukan melalui kegiatan pemulihan terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Jadi jelas sudah bahwa secara kontekstual kegiatan food estate dalam hutan lindung adalah kegiatan pemanfatan kawasan hutan dalam hutan lindung dengan kegiatan wana mina (silvofishery);  wana ternak (silvopastural);  tanam wana tani (agroforestry);  dan wana tani ternak (agrosiluopastura) dengan catatan kawasan sudah terbuka atau terdegradasi harus terlebih dahulu dipulihkan fungsinya sebagai hutan lindung yang utuh baru dapat dilakukan kegiatan wana tani, wana mina dan wana ternak.

Keenam, konsep kegiatan food estate dihutan lindung sejatinya tidak sejalan dan bertentangan dengan konsep pemanfaatan kawasan hutan dalam hutan lindung meskipun kegiatannya mengandung unsur wana tani, wana mina dan wana ternak. Dalam pemanfaatan kawasan hutan dalam hutan lindung tidak diperkenankan adanaya peralatan mekanis dan alat berat serta membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam, sementara dalam kegiatan food estate dalam hutan lindung diperkenankan adanya intervensi teknologi dan mekanisasi dan membangun sarana prasarana yang jelas akan mengubah bentang alam.

Ketujuh, sebenarnya dalam 58 ayat (4) disebutkan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan pengadaan tanah untuk ketahanan pangan (food estate) dan energy dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan kawasan hutan produksi tetap. Jika menilik luas kawasan hutan Indonesia 125,2 juta hektare, luas kawasan hutan produksi bisa dibilang lebih dari cukup. Luas hutan produksi Indonesia mencapai 68,6 juta hektare atau 54,79%. Seluas 29,1 juta hektare berupa hutan produksi tetap, 26,7 juta hektare hutan produksi terbatas ,dan 12,8 juta hektare hutan produksi yang bisa dikonversi untuk kebutuhan pembangunan (Dalam PP 23/2021 pengertian hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas dilebur menjadi satu hutan produksi tetap). Sementara luas hutan lindung yang hanya 29,5 juta hektare atau 23,56% saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline