TATA KELOLA PROGRAM RHL YANG IDEAL
Dalam mengukur dan menilai keberhasilan suatu program/kegiatan yang ideal biasanya dilihat dari sekuen (urutan) aspek tata kelola yang lengkap yaitu input, proses, output dan outcome. Demikian halnya dengan program/kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) seharusnya mengikuti 4 (empat) tahapan tata kelola tersebut.
Dalam peraturan pemerintah (PP) no. 76/2008 yang diperbaharui PP no.26/2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan dan peraturan menteri LHK no. P.105/2018 tentang tata cara pelaksanaan, kegiatan pendukung, pemberian insentif, serta pembinaan dan pengendalian kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), nampaknya secara sekilas tata kelola RHL yang dimaksud telah lengkap dan ideal, namun kalau ditelisik lebih jauh masih terdapat kelemahan disana sini dan perlu adanya pembenahan tata kelola program RHL yang lebih baik lagi. Kenapa demikian ?.
Menggugat Program RHL
Seringkali masyarakat menggugat keberhasilan program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) apabila terjadi bencana hidrometeorologi (banjir, banjir bandang dan tanah longsor), padahal program yang didominasi oleh kegiatan revegetasi kayu-kayuan ini telah dilakukan 45 tahun lalu ( sejak adanya Inpres Reboisasi dan Penghijauan 1976).
Bencana hidrometeorologi yang terjadi terus menerus setiap tahun seolah olah menjadi rutinitas yang harus dihadapi masyarakat yang terdampak dan sudah dianggap sebagai suatu kelaziman. Masalahnya adalah apakah skala dan luasan bencana makin membesar dan meningkat?.
Rasanya apa yang menjadi peringatan dari Badan Meteorologi dan Klimatologi dan Geofisika (BKMG) sebelumnya yakni seluruh mitra Kementerian /Lembaga, pemerintah daerah dan para pihak, serta masyarakat untuk tetap meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman bencana hidrometeorologi menyongsong periode Natal 2020 dan Tahun Baru 2021, terbukti terjadi.
Prakiraan curah hujan khusus NATARU (Natal dan Tahun Baru) ini, bulan Desember 2020 sampai Januari 2021 curah hujan akan mencapai lebih dari 300mm/bulan, bahkan sampai bulan Maret masih akan ada di musim hujan. Jadi kesimpulannya adalah periode NATARU 2020/2021 ini akan ada di musim hujan dengan intensitas yang tinggi.
Kita sering meremehkan peringatan BMKG dan tidak terbiasa membaca tanda-tanda alam dan menganggap bencana dalam skala kecil sebagai rutinitas tahunan. Padahal dari yang kecil tersebut kalau tidak segera ditanggulangi segera membesar karena daya dukungnya akan melebihi batas toleransinya akibat kerusakan lingkungan yang terus menerus dan masif skalanya.
Mitigasi bencana yang dilakukan daerah, sejak dari awal sehingga korban jiwa dan harta benda dapat ditekan dan minimalisir skala dan luasnya sifatnya temporer dan jangka pendek nampaknya belum membuahkan hasil yang nyata. Solusi penanganan bencana hidrometeorologi yang sifatnya permanen dan jangka panjang adalah penanganan pada daerah hulu dan daerah tangkapan air didaerah aliran sungainya (DAS) dengan penanaman vegetasi kayu-kayuan yang mempunyai perakaran dalam.
Pemulihan dan rehabilitasi daerah hulu dan tangkapan air DAS selama ini menjadi masalah kruisal, karena telah dilakukan bertahun tahun, namun hasilnya juga belum dapat diharapkan. Itulah yang sering dipertanyakan dan digugat masyarakat selama ini, sampai mana keberhasilan kegiatan RHL selama ini.