MANAJEMEN KONSERVASI SATWA LIAR
Polemik mengenai konflik antara manusia dan satwa liar mengemuka belakangan ini. Berita dimedia massa, media digital maupun media televisi nasional sering dimuat terjadinya konflik antara manusia dan harimau, manusia dan gajah, manusia dengan orangutan. Kesemua satwa liar ini sebenarnya mempunyai habitat tersendiri di kawasan hutan.
Bagi satwa liar yang jumlah dianggap langka dan semakin punah, biasanya habitat hidupnya didalam kawasan hutan akan dikonservasi dalam kawasan hutan konservasi jauh dari kebun atau ladang apalagi pemukiman penduduk. Jadi kalau terjadi konflik antara manusia dan satwa liar dikebun/ladang penduduk, pasti terjadi sesuatu dengan satwa liar tersebut.
Bagi satwa liar yang pemakan daging (carnivora) seperti harimau, proses rantai makanan, yang biasanya diisi oleh satwa juga seperti rusa, kerbau liar, babi hutan dan sejenisnya, sekarang berganti menjadi manusia yang masuk dalam rantai makanan satwa liar.
Kenapa demikian ? Ketersediaan makanan bagi satwa liar makin hari makin berkurang bahkan menipis akibat dari rusaknya habitat ekosistem pendukungnya atau akibat makanan satwa liar, habis karena terlanjur diburu oleh manusia.
Sebaliknya bagi satwa liar seperti gajah dan orangutan yang tergolong makan tumbuh-tumbuhan (herbivora), persediaan makanan dihabitat aslinya mulai terbatas/menipis akibat adanya kegiatan deforestasi, kebakaran hutan dan sebagainya, sehingga untuk bertahan hidup satwa jenis herbivora ini mencari jalan sendiri dengan keluar dari habitatnya dan masuk kedaerah kebun atau ladang penduduk bahkan sampai ketempat pemukiman penduduk hanya gara-gara kelaparan untuk mencari makanan.
Menjadi pertanyaan adalah bagaimana manajemen satwa liar yang dilindungi dan jumlahnya makin langka. Dimana habitat yang sebenarnya bagi satwa liar yang dilindungi. Siapa yang bertanggungjawab terhadap satwa liar ini dan apa peran pemerintah daerah dan masyarakat dalam konservasi satwa liar yang dilindungi ini.
Kasus Konservasi Gajah Sumatera
Badan Konservasi Dunia (IUCN) sejak 2012 mengkatagorikan gajah sumatera sebagai satwa dengan pupulasi kritis atau terancam punah/critically endangered/CR). Ini membuat gajah sumetara menjadi satu-satunya subspecies gajah di dunia berada dalam katagori yang paling terpuruk.
Dalam Konvensi tentang Perdagangan Internasional Satwa dan Tumbuhan (CITES), gajah sumatera juga dimasukkan dalam kelompok Appendix I di Indonesia sejak tahun 1990. Spesies ini tidak boleh diperdagangakan termasuk gading an organ tubuh lainnya.
Kondisi gajah sumatera yang terancam punah, tampaknya tidak membuat sejumlah pihak memperkuat aksi konservasi untuk menyelematkannya. Sebaliknya sampai saat ini banyak gajah sumatera yang mengalami kematian akibat konflik dengan manusia (Kompas, 9/1/2021).