Forest Digest Oase Rimbawan
Kehadiran majalah triwulan Forest Digest yang digawangi anak anak muda alumni Fakultas Kehutanan IPB, Bogor pada tahun 2016, menberikan nafas baru bagi khazanah dunia hutan dan kehutanan Indonesia.
Menjelang purna tugas di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), setiap alumni Fahutan IPB dan setiap angkatan diminta untuk mengisi artikel/tulisan/opini atau semcam itu. Sebagai alumnus angkatan 14, saya pesimis tentang kelangsungan majalah ini.
Apalagi, menjelang pensiunan akhir tahun 2016, saya belum berminat menulis meskipun hobi menulis dikoran, majalah dan sebagainya sudah lama saya rintis sejak mahasiswa di Darmaga tahun 1978 sampai bekerja didaerah maupun di Jakarta.
Memasuki masa pensiun, saya manfaatkan betul untuk istirahat dan santai dirumah sambil nonton televisi dan baca koran favorit keluarga dari sejak beberapa tahun yang lalu yaitu harian Kompas serta menikmati masa pensiunan bersama anak dan cucu yang kebetulan tinggalnya di Bekasi tidak jauh dari Bogor.
Awal tahun 2019, tepatnya pada bulan Mei, saya tergerak untuk menulis setelah membaca diharian Kompas, pemberitaan tentang banjir bandang yang menerjang Sentani, kabupaten Jayapura, provinsi Papua yang menelan korban jiwa dengan jumlah yang cukup banyak.
Saya menulis surat kepada redaksi Kompas tentang tanggapan dan meluruskan pada pemberitaan tentang rehabilitasi cagar alam Cycloop oleh salah seorang pejabat KLHK. Didalam cagar alam tidak boleh dilakukan kegiatan rehabilitasi sesuai dengan UU no.41/1999 pasal 41 ayat (2). Rehabilitasi dapat dilakukan diluar cagar alam pada kawasan yang berfungsi sebagai penyangga. Tulisan saya dimuat pada akhir Mei 2019.
Sejak itu saya rajin menulis artikel pendek pada kolom surat kepada redaksi Kompas tentang hutan dan kehutanan dan biasanya dimuat setiap dua minggu sekali sampai sekarang. Saya juga rutin menulis ditabloid Agro Indonesia tentang hal yang sama. Tabloid ini biasa menjadi bacaan wajib di kementerian pertanian, kementerian kelautan dan perikanan serta KLHK.
Pada suatu kali, saya iseng membuka E magazine forest digest pada awal tahun 2020, ternyata pesimisme saya tidak terbukti. Forest digest berkembang sangat pesat , salut dan penghargaan yang setinggi tingginya buat pengasuh majalah forest digest yang dapat berkembang seperti sekarang dan telah menginjak keedisi 15, dimana saya juga ikut menyumbangkan tulisan dalam rubrik kolom dengan judul Cara Mengendalikan Banjir Jakarta.
Saya pikir, hanya alumni Fahutan IPB saja yang boleh menulis dalam forest digest, ternyata tidak. Forest digest terbuka untuk semua kalangan rimbawan, ada dari UGM, ada dari Universitas Papua dan sebagainya.
Tak ada gading yang tak retak. Sesuatu tidak ada yang sempurna. Kalau boleh sumbang saran untuk kemajuan dan perbaiki forest digest, dalam melakukan editing (penyuntingan) naskah tulisan hendaknya lebih cermat agar esensi tulisan yang sebenarnya tidak bias.