Tidak semua anak anak Indonesia yang telah menamatkan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ditingkat perguruan tinggi. Menurut data terbaru (2019), Setiap tahun jumlah lulusan SMA/SMK di atas 3,5 juta orang, hanya 50 persen yang mampu melanjutkan kejenjang perguruan tinggi.
Berbagai faktor yang menyebabkan anak lulusan SLTA tidak mampu atau putus pendidikan ditengah jalan. Salah satu penyebabnya adalah tingginya biaya kuliah yang tidak dapat dijangkau oleh kebanyakan para orang tua siswa. Menurut perhitungan para pengamat pendidikan, pada tingkat strata satu (S1) tahun kuliah 2020, biaya rata rata sampai dengan lulus kuliah yang harus dikeluarkan oleh orang tua, untuk perguruan tinggi negeri (PTN) sebesar Rp 81 juta, sedangkan untuk perguruan tinggi swasta (PTS) sebesar Rp 90 juta. Itupun diluar biaya hidup sehari hari yaitu makan, minum, pemondokan dan transport. Bagi orang tua yang mempunyai kemampuan ekonomi terbatas, jelas jumlah uang sebesar itu tidak mungkin akan terjangkau untuk memenuhinya. Bagaimana orang tua yang masuk golongan ini menyiasati biaya kuliah yang lebih murah syukur syukur gratis.
Berikut ini, pengalaman pribadi saya selama kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB) dari tahun 1977 -- 1981 yang praktis hampir lebih dari 80 persen tidak mengeluarkan biaya kuliah alias gratis. Bagimana bisa ? Sebagai lulusan SMA kota kecil di Jawa Tengah (SMAN Cepu, kabupaten Blora, Jateng), yang orang tuanya mempunyai kemampuan ekonomi terbatas (anak kedua dari sembilan bersaudara) saya mendapat kesempatan untuk melanjutkan kuliah tanpa test melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) di IPB tahun 1977.
Biaya kuliah setahun sebesar Rp. 24 ribu atau satu semester Rp. 12 ribu. Tahun pertama kuliah di Bogor, biaya yang dikeluarkan oleh orang tua adalah biaya kuliah selama dua semester ( satu tahun), biaya indekos kamar ala kadarnya, biaya transpot kekampus (itupun kalau dibutuhkan karena seringkali lebih banyak jalan kekampus karena dekat), dan biaya makan sehari hari. Melalui weselpos yang kadang kadang terlambat mengirimkannya ke Bogor, saya dijatah Rp. 12.500 setiap bulan , itupun dipesan agar dicukup cukupkan karena tidak mungkin akan ditambah lagi oleh orang tua.
Sebagai anak kedua, saya paham betul kemampuan ekonomi orang tua. Penghasilan orang tua ( ibu sebagai ibu rumah tangga biasa) harus mampu mendistribusikan penghasilannya untuk sembilan orang anak yang harus sekolah dan kuliah. Secara bersamaan ditahun yang sama, kakak tertua juga diterima di Fakultas Teknik Mesin Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS) di Surabaya, juga membutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan kebutuhan saya di Bogor. Sementera itu, tujuh orang adik adik dirumah juga masih bersekolah ditingkat SD sampai SMA.
Pesan orang tua kepada anaknya yang kuliah di Bogor dan Surabaya cuma satu yaitu carilah beasiswa secepatnya agar dapat meringankan beban ekonomi orang tua, apapun caranya dan bagaimanapun syaratnya.
Sebagai anak yang harus berbakti kepada orang tua, saya bergegas dan cepat cepat mencari informasi tentang beasiswa ini dikampus meskipun baru kuliah tiga bulan dengan membawa persyaratan administratif yang telah dikumpulkan sebanyak mungkin oleh ayah dan telah dikirimkan ke Bogor sebelumnya. Doa yang tulus dan niat baik orang tua ternyata dijawab oleh Tuhan yang maha adil dan penyayang bagi umatnya yang berusaha.
Dari pegawai bagian kemahasiwaan tingkat persiapan bersama IPB, diperoleh informasi bahwa untuk beasiswa atau keringanan/bebas SPP biaya kuliah baru dapat diproses setelah mahasiswa menginjak tingkat dua atau semester tiga. Setelah persyaratan administrasi yang saya bawa dan tunjukkan dinyatakan lebih dari cukup. Saya diberi dua pilihan, gratis SPP selama kuliah sampai lulus yang sebesar Rp. 24 ribu tiap tahun yang berarti selama tiga tahun dihitung dari tingkat dua dengan total Rp. 72 ribu atau beasiswa Supersemar Rp. 15 ribu perbulan atau Rp. 540 ribu. Melihat perbandingan ini, jelas saya lebih memilih beasiswa Supersemar yang lebih menjanjikan dan meringankan kiriman weselpos orang tua.
Memasuki awal tahun 1978, atau semester tiga dimana mahasiswa diwajibkan untuk memilih fakultas dan jurusannya masing masing, saya lebih memilih fakultas kehutanan dengan pertimbangan faktor ekonomis.
Semua mahasiswa fakultas kehutanan ditampung dan diwajibkan tinggal diasrama mahasiswa gratis dan biaya makan hanya Rp.300,- per hari dan dapat dibayar perminggu tergantung kemampuan kantong mahasiswa. Jarak asrama dengan kampus tempat kuliah sangat dekat, cukup ditempuh dengan jalan kaki sehingga tidak memerlukan biaya transport. Sesuai dengan janji sebelumnya dari bagian administrasi mahasiswa kampus, saya tagih tentang beasiswa Supersemar yang dimaksud tahun lalu.
Saya diberi formulir kelengkapan yang harus ditandatangi dahulu oleh dekan fakultas kehutanan sebagai persetujuan, dan setelah proses administasi beres, sebulan kemudian saya mendapatkan kartu beasiswa Supersemar yang dapat diamabil setiap bulannya di bank BNI 46 cabang Bogor. Saya sangat senang dan mengucapkan puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas jalan kemudahan yang diberikanNya.