Lihat ke Halaman Asli

Cerita Tentang Mekilong Wenda

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak-Anak Papua

Mekilong Wenda terlihat kebingungan melihat papan tulis di depannya. Raut wajah yang ragu-ragu, seakan melihat sesuatu yang tidak wajar di sana. Mekilong Wenda diam, mungkin berpikir sejenak apa yang hendak disampaikannya. “Sa (saya) orang Papua, bukan endonesa,” jawabnya bingung. “Papua itu bagian dari Indonesia, Mekilong,” kata saya sambil melingkari gambar peta Indonesia buatan saya di papan tulis. “Ah, tidak. Sa orang Papua,” katanya sambil ngeloyor pergi seperti ketika belajar pelajaran yang lain pada klinik saya sepulang sekolah. Setelah hari itu. Saya tidak pernah lagi melihat Mekilong Wenda. *** Saya masih ingat pertama kali melihat Mekilong Wenda datang bersama kedua orang tua dan adiknya yang masih kecil untuk berobat. Si adik sakit panas. Mekilong Wenda berdiri dengan senyum lebar di samping tempat duduk ibunya. Dan seperti layaknya anak-anak Papua, Mekilong bertubuh kecil kurus dengan perut buncit bertanda kekurangan gizi, dan ingus hijau yang hampir menetes dari salah satu lubang hidungnya. Anak Papua. Mekilong Wenda berusia 10 tahun tetapi memiliki berat tidak lebih dari 20 kg. Buat orang Papua, anak-anak yang beringus (pilek) kental hijau yang hampir menetes jatuh tersebut adalah hal yang wajar saja. Toh semua anak seperti itu. Mekilong tampak senang berada di klinik sekaligus tempat tinggal saya dan teman-teman karena memiliki sebuah kolam berisi ikan lele di belakang. Mekilong senang memancing. Jadi sering setiap pulang sekolah (ia baru saja masuk kelas 3 SD), Mekilong datang sendiri atau dengan adik dan temannya untuk memancing satu atau dua ekor lele. Saya dan teman-teman tidak membiarkan mereka langsung bermain dan memancing, melainkan menyuruh mereka belajar dulu.  Hal yang menyedihkan adalah Mekilong belum bisa membaca. Jangankan membaca, mengenali huruf pun masih terbata-bata. Entah bagaimana mereka bisa naik kelas. Entah apa yang mereka lakukan di sekolah. Suatu kali saya memberi tugas Mekilong untuk menulis huruf dari A sampai Z yang katanya sudah pernah diperlajarinya. Wajah Mekilong berubah dari serius, putus asa, dan diakhiri dengan tawa menyerah. Setelah dipaksa menyelesaikan tugas itu, ia pun segera pergi ke belakang, mencari cacing dan memancing lele, sesuatu yang dia lakukan dengan sangat lihai. “Sa su (sudah) capai di sekolah Bapa Dokter,” katanya beralasan. Setiap kali pula Mekilong makan siang di rumah kami. Lele yang ditangkapnya kami goreng, dan dia pun makan dengan lahap. Bagaimana mungkin seorang anak bisa berpikir dengan baik ketika nutrisinya pun tidak terpenuhi sedangkan kebutuhan oksigen otaknya terganggu ingus-ingus kental yang menggantung. Potret pendidikan di Indonesia adalah Mekilong Wenda dan teman-temannya, bukan sekolah-sekolah mahal yang katanya berstandar internasional. Ketika anak-anak TK di Jakarta sudah dibebani dengan mengeja dan berhitung, Mekilong yang sudah masuk SD selama 3 tahun pun masih tertawa putus asa diminta mengeja huruf apa yang sudah dikenalnya. Tidak hanya itu. Bagaimana pemerintah berharap konflik di Papua bisa mereda jika seorang anak 10 tahun di sebuah kabupaten besar di Papua bahkan tidak mengenal arti Indonesia. Ini bukan cerita indah di film. Faktanya, mereka hanya merasa sebagai anak Papua. Mereka besar dengan mengetahui kekayaan alam mereka dimanfaatkan oleh pemerintah pusat dan asing, sedang anak-anak mereka tidak pernah tahu hasilnya. Entah mengapa Mekilong Wenda tidak pernah lagi datang ke rumah setelah malam itu saya mengajarinya arti Indonesia. Orang tua dan adik Mekilong pun tidak lagi datang klinik. Mungkin mereka pindah. Mungkin Mekilong berhenti sekolah dan membantu sang Ayah di kebun. Mungkin Mekilong yang bingung bertanya kepada sang Ayah tentang Indonesia. Mungkin sang Ayah tersinggung. Ah, mungkin Mekilong hanya bosan berteman dengan saya.

*** Rusdi tersedu di telpon. Ini kali pertama dalam beberapa bulan semenjak ia berangkat mengajar di pedalaman Papua. Ia baru saja sampai Wamena, kota besar pertama setelah hampir 3 hari berjalan kaki dari desanya. “Sa berangkat sama masyarakat yang mo pergi ke kota. Pesawat mahal, dok, harus charter. Samo ambil gaji, belum turun su 3 bulan,” terdengar Rusdi bercerita sambil menahan tangis. Saya kenal Rusdi sejak pertama sampai di Papua. Lulus dari sekolah guru di wilayahnya (satu-satunya perguruan tinggi adalah sekolah guru), Rusdi dijanjikan akan dijadikan PNS dan dipanggil bekerja di daerah tertentu. Sudah 1 tahun semenjak janji itu dan Rusdi belum lagi mendengar kabar. Jadilah dia bekerja di klinik saya. Tiba-tiba saja dia mendapat panggilan itu beberapa bulan lalu. Rusdi bercerita bagaimana dia berjalan kaki masuk keluar hutan dan naik turun bukit. Bersama pace mace masyarakat daerahnya yang juga mau ke kota untuk berbagai urusan, mereka tidur di goa, rumah penduduk lain, atau apa saja yang bisa melindungi mereka dari hujan. Ia juga bercerita bagaimana ia hanya makan patatas (umbi-umbian) tanpa nasi dan protein hewani. Mereka bilang para guru muda ini akan diperhatikan. Mereka bilang gaji akan turun. Mereka bilang… ah. Di akhir telpon itu Rusdi bertanya kepada saya, “apa sa bisa jadi guru di Jakarta saja, Dok?” Saya tidak bisa menjawab apa-apa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline