Belakangan ini kesadaran masyarakat akan kekerasan seksual perlahan meningkat, hal ini dapat dilihat dari banyaknya pembahasan serius mengenai kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi dan berbagai upaya untuk mencegah hal tersebut. Sayangnya, ditengah banyaknya kasus kekerasan seksual yang telah perlahan tersorot saat ini, masih ada kasus kekerasan seksual yang masih belum banyak dibicarakan atau bahkan dapat dikatakan "tenggelam".
Child on child Sexual Abuse (COCSA) adalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang anak di bawah umur kepada anak lainnya. Kasus kekerasan seksual anak ke anak ini jarang dibicarakan karena memang sulit untuk membayangkan seorang anak dapat melakukan kekerasan tersebut.
Meskipun terkesan tidak mungkin, nyatanya banyak anak-anak yang saat ini telah dan tengah menjadi korban dari jenis kekerasan ini. Namun karena mereka masih anak-anak, banyak dari mereka tidak sadar akan hal tersebut, korban tidak sadar mereka telah menjadi korban dan pelaku bisa saja tidak sadar bahwa mereka telah melakukan tindak kekerasan.
Untuk memahami lebih lanjut apa itu COCSA, kita perlu terlebih dahulu memahami akar permasalahannya. Dijelaskan oleh Kati Morton, LMFT, COCSA sendiri dapat terjadi karena berbagai faktor, bisa jadi karena pelaku pernah mengalami kekerasan serupa, melihat atau terpapar konten dan informasi tidak benar mengenai kegiatan seksual, dan bisa saja karena rasa penasaran anak yang tinggi.
Selain itu, anak-anak dibawah umur juga belum sepenuhnya memahami apa itu konsep consent. Yang menjadi dilema dari kasus COCSA adalah, bahwa pelaku kekerasan ini masih anak-anak dan biasanya tidak menyadari kesalahan yang telah dilakukannya, mempertimbangkan hal ini, tentu menjadi sulit untuk memutuskan hukuman bagi pelaku.
Namun diatas semua itu COCSA ini merupakan kekerasan seksual yang serius dan penting untuk ditangani, bentuk kekerasan yang sering dianggap remeh sebagai gurauan atau perbuatan usil anak kecil ini tetaplah sebuah kekerasan yang dapat mempengaruhi kehidupan korban.
Tidak peduli usia pelaku dan korban, korban akan selalu mendapatkan trauma mendalam yang menyebabkan rasa malu, bingung, dan lain sebagainya. Dan jika hal ini tidak segera tangani dengan baik, maka trauma akan berkembang lebih parah menjadi isu kesehatan mental, seperti depresi, gangguan kecemasan, hingga memicu perilaku menyakiti diri sendiri.
Trauma akibat kekerasan seksual juga sering memunculkan kebingungan mengenai orientasi seksual korban, atau bahkan lebih parah, korban dapat pelaku kekerasan serupa kepada orang lain. Tentunya diperlukan upaya kuat untuk memutus siklus COCSA.
Peran orang tua sebagai pelindung dan pengayom anak menjadi sangat penting dalam kasus ini, sebisa mungkin orang tua memberikan respon yang tepat dengan memberikan ruang bercerita yang nyaman dan memberikan pengertian yang jelas dan terbuka pada anak mereka.
Keseriusan dampak kekerasan seksual anak ke anak ini menunjukkan bahwa diperlukan solusi yang terstruktur untuk menanggapi kasus COCSA. Dalam penanganannya, baik korban maupun pelaku memerlukan bantuan khusus seperti terapi dan pengarahan, meskipun begitu tetap perlu ada pertimbangan hukuman bagi pelaku untuk menegaskan kembali bahwa kekerasan dalam bentuk dan dengan alasan apapun tetaplah kekerasan dan tidak dibenarkan.