Lihat ke Halaman Asli

Pagi-pagiku yang Lenyap

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mari bercerita tentang pagi meski aku tak pernah rasakan pagi seutuhnya. Pagi adalah awal hari yang selalu setia menghadirkan sinar matahari yang menghangatkan, membangunkan manusia-manusia yang rajin demi aktivitas masing-masing, walau terkadang masih ada juga orang-orang yag mengabaikannya, mengabaikan tawarannya untuk menikmati sahabatnya yang selalu menyapa dengan sinarnya. Kenikamatan pagi bagaikan air yang diteguk oleh musafir di gurun sahara ketika mereka nyaris dehidrasi.

Pagi menceritakan berbagai macam kisah,dengan senyum karena mimpi indah, muka sedih karena ngompol, dengan lamunan karena mimpi basah dan masih banyak lagi ekspresi yang orangf-orang berikan ketika menyambut pagi. Entah senang karena paginya mereka akan menerima bantuan langsung tunai (BLT), atau juga sedih karena akan membayar tagihannlistrik namun uang tak ada.

Berbeda denagn saya, ketika masih sekolah dan tinggal bersama orang tua, aku selalu bangun dengan muka kesakitan karena malas bangun pagi aku selalu mendapatkan cubitan super dipaha oleh mamaku, kadang juga dengan perasaan tenggelam karena bapakku menyiramkan seember air diwajahku lalu disuruhnya aku untuk menjemur kasur yang basah. Namun aku tak pernah marah, malah aku mensyukuri karena mereka telah mengajakku untuk menikmati pagi walau dengan cara yang ekstrim.

Kini pagi bagiku adalah kejadian yang langka. Semua berawal ketika pertama kali aku mendaftarkan diriku kesalah satu universitas. Yang aku tahu salah satu penyebabnya karena aku telah jauh dari kedua orang tuaku, kini tak ada lagi yang membangunkan diriku ketika pagi, ya jauh dari mereka membuat pagiku nyaris punah dari hidupku karena sudah jarang bangun pagi malah bangunnya pada siang hari. Hariku berubah, terkadang siang jadi malam dan malam jadi siang yang jelas aku selalu kesiangan.

Kata teman-teman aku terkena insomnia, mungkin saja mereka benar karena tiap malamnya aku susah tidur, tapi menrutku karena berubahnya hari tadi. Bahkan aku pernah diberi pil yang khasiatnya membuat orang yang meminumnya mudah ngantuk dan lelap tidur, namun sayang pil itu tidak mempan bagi mataku, aku tetap melotot.

Sejak terkena penyakit susah tidur ( sebenarnya aku juga bingung, apakah ini penyakit atau memang hobi) jam dihari-hariku berubah. Umumnya hari dimulai dari jam 6 pagi hingga 24 jam kemudian, aku malah memulai hari dari jam 10 pagi. Namun aku tak panbtang menyerah untuk menanti saat –saat matahari mulai memberikan sinarnya pada pada bumi diawal hari. Terkadang demi menjumpai matahari terbit aku harus menunggu dengan tidak tidur sampai fajar menyingsing di ufuk timur. Jika tidurnya lebih awal maka saat terbangun aku segera berlari keluar untuk memastikan bahwa matahari belum terbit, yah lagi-lagi sang surya telah berada diatas kepalaku.Hingga kini aku kurang suka pada kegiatan-kegiatan pagi, contohnya masuk kelas yang dimulai jam 7 pagi.

Aku hanya bias berharap rutinitas bangun pagiku akan berubah sejak aku menuliskan penyakit atau hobi ini, aku ingin menikmati belaian sinarnya yang nyaris punah menyentuh wajahku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline