Lihat ke Halaman Asli

Batu Warna-warni, Siapa yang Disalahkan?

Diperbarui: 21 Juli 2018   19:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

detik

Fenomena batu warna-warni terjadi di Kudus Jawa Tengah beberapa hari lalu, sempat viral. Banyak yang menghujat, namun juga banyak yang mengapesiasi. Para peduli lingkungan menyalahkan akan pengecatan batu-batu itu. hal itu dikarenakan tidak alami. kesan alaminya hilang karena warna-warni. 

Tuntutan pemilik objek wisata untuk mengembangkan wisata. salah satunya dengan membuat objek menarik untuk swapoto. hal itu mengingat fenomena jaman sekarang, anak muda sering berswapoto diobjek yang dikira menarik. 

Santo pemilik lahan tersebut mengaku pengecat dilakukan beberapa minggu yang lalu. Ia melakukan pengecatan karena ia terinspirasi dari salah satu wisata yang pernah ia kunjungi. 

"Saya sebelumnnya pernah ke Jogja,  disana ada yang warna warni,  sehingga saya melakukan chat disini.  Ini barusan,  baru sekitar satu minggu, " ungkapnya. 

Nia warga Desa Gribig Kecamatan Gebog ini justru tertarik melihat warna-warni batu yang dicat tersebut.  Dikatakan dia hal tersebut justru terlihat indah untuk tempat berpoto. 

"Kalau menurut saya itu justru terlihat indah. Karena terlihat warna-warni,"paparnya. 

namun fenomena cat batu warna-warni itu, mendapatkan reaksi oleh para peduli lingkungan. dikatakan mereka mengecat batu adalah hal yang salah kaprah. Muria Research Center Indonesia (MRC)  M. Widjanarko. Menurutnya,  pengecat bebatuan tersebut dinilai salah kaprah.  Dikatakan dia alangkah baiknya,  jika akan lebih bagus bebatuan tersebut alami. 

"Haduh niru kampung warna tapi salah kaprah,bukannya akan lebih alami dengan batu yang asli, "kata dia. 

Ia mengajak masyarakat lainnya untuk tidak meniru-meniru ngecat batu tersebut.Terutama didesa-desa dan pinggir hutan. Ia menilai seharusnya mengecat batu bisa dialihkan dengan kegiatan lainnya. Seperti kebersihan sungai dari sampah. 

"Pihak terkait dan desa segera bergerak untuk mengembalikan fungsi alami,"pintanya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline