Lihat ke Halaman Asli

Syarif Hidayat

Pegiat Kebudayaan

Menohok Dinasti Politik Pilkada Serentak di Banjar

Diperbarui: 10 Februari 2018   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Foto TheTanjungpuraTimes

Ini pun cukup menarik perhatian saya saat munculnya isu dinasti politik . Isu ini sengaja dimunculkan untuk menggiring opini masyarakat sebagai cara untuk melawan petahana dalam Pilkada Serentak tahun 2018.

Sebut saja di Kota Banjar, Jawa Barat. Isu dinasti politik  seakan tengah menjadi perbincangan dari para politisi untuk mendongrak popularitas menarik simpati masyarakat agar mengetahui bila telah terjadi dikotomi politik di daerah yang memiliki empat kecamatan ini.

Adalah petahana Wali Kota Banjar yang berasal dari keluarga mantan Wali Kota Banjar dua periode menjadi buah bibir dari sudut kota hingga pusat. Nama ini muncul, ketika petahana masuk pada daftar kontestasi calon Wali Kota, yang kini berstatus sebagai pemimpin daerah Banjar. Ini digadang-gadang akan menjadi calon kuat di Pilkada Serentak mendatang.

Ada yang beranggapan bahwa politik dinasti ini sangat kentara dengan tindakan melawan hukum. Ada pula ini hanya siasat melawan petahana akibat ketidakberdayaan elit politik di Banjar untuk berkonsolidasi demokrasi yang mengalami kebuntuan. Akan tetapi, dipandang dari presfektif sejarah, fenomena politik dinasti ini bukan sebuah produk baru di balantika politik Indonesia.

Ya, boleh jadi anggapan dinasti politik ini berkaitan dengan tindakan melawan hukum, mengingatkan kita lahirnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, tanggal 19 Mei 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Setelah runtuhnya era Orde Baru, istilah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini menjadi model baru politik Indonesia. Mengulang pada masa itu, ketika  masa pemerintahan transisi Presiden BJ Habiebie, KKN ini kemudian dijadikan sebuah produk hukum.

Pada Bab 1 pasal 1 (Satu), pengertian dari masing-masing istilah dimaksud diketahui;

  • Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
  •  Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara.
  • Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara.

Fenomena Politik dinasti ini muncul pada level politik lokal seiring dengan diberlakukannya Pemilukada langsung kali pertama di Indonesia pada tahun 2005 setelah adanya implementasi otonomi daerah tahun 2001. Ini dimanfaatkan oleh elit politik setelah Orde Baru yang terkurung pada kebijakan pusat yang secara langsung menunjuk pada tingkat daerah.

Beranjak dari itu, masa transisi ini dimanfaatkan untuk menguasai kekuasaan secara kuat. Maka ini kerap disebut dengan reorganisasi kekuasaan. Politik dinasti pun disebut sebagai praktik politik predator, dimana tumbuhnya model ini justru terjadi karena adanya kolusi bisnis-politik di tingkat lokal sehingga terjadi sebuah rasa ketergantungan terhadap keluarga elit poltik yang berkuasa pada masanya.

Dicontohkan, jejaring keluarga telah menguasai berbagai proyek pembangunan daerah yang kemudian dibagi-bagikan kepada kroninya. Dinasti politik berperan sebagai kreator dalam menjaga stabilitas kolusi tersebut dengan menempatkan sanak familinya ke dalam jajaran perusahaan maupun pemerintahan.

MENAKAR POWER POLITIK PETAHANA

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline