Lihat ke Halaman Asli

Bismillah Selalu Beda antara yang Yakin dan yang Ragu... Penggarang: Muhammad Makhdlori

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ringkasan cerita

Pemuda itu bernama akbar, anak seorang kiai yang memimpin pondok pesantren di kampungnya. Sewaktu Akbar masih kecil , ia pernah terjatuh dari gendongan pembantunya. Namun, si pembantu tidak mau memberi tahu orang tua Akbar, karena ia takut akan dipecat.

Setelah beberapa lama, peristiwa itu akhirnya diketahui oleh kedua orang tua Akbar saat memeriksa Akbar ke dokter, karena Akbar terus menagis dan mengeluh sakit pada kakinya. Dokter yang memeriksanya mengatakan bahwa ada tulang retak yang membusuk, karena lama tidak dilakukan tindakan medis. Tidak ada penaganan lain, kecuali tulangnya harus diganti dengan platina. Keluarga sepakat. Operasi pun dilakukan. Tahun demi tahun, Akbar tumbuh dewasa, namun kakinya tidak tumbuh sempurna. Hanya tumbuh panjang dan kecil seperti garan pacul.

Akbar tidak dapat menerima keadaannya. Perasaan malu dan marah karena kerap dihina membuat sikapnya bertemperamen pemarah. Jika ingat tentang kakinya, seketika ia mengentak-entakkan kaki semabri berteriak,“ kaki sialan, kenapa kakiku cacat!Ah...., Ibu, kenapa kamu lahirkan anakmu sebagai anak cacat?! Sialan!Setan!

Sebagai pelampisan, ia sering bermabuk-mabukan, membuat keributan dipesantren maupun di kampung. Dengan cara seperti itu, ia merasa bisa tampil sempurna sebagaimana pemuda lainnya.

Orang tua Akbar sangat malu dan terpukul karena perilakunya. Apalagi ayahnya, Kiai Burhan, seorang pemimpin pondok pesantren di kampungnya. Mereka sepakat mengirimkan Akbar ke pesantren.

Semula, Akbar menolak hendak dimasukkan ke pesantren. Namun, setelah dibujuk secara halus, ia akhirnya setuju. Kedua orang tuanya tersenyum lega.

Didalam pesantren, Akbar akan di didik dengan sentuhan-sentuhan agama. Ia akan diawasi ketat oleh kiai pengasuhnya. Apalagi, pengasuh pesantren itu adalah teman sebilik ayah Akbar sewaktu dulu menuntut ilmu di pondok pesantren.

Sudah satu tahun Akbar tinggal di pesantren. Sedikit demi sedikit, perilakunya berubah. Ia mau mengaji bersama dengan santri lain di masjid. Bahkan, kitab tafsir jalalanin pun bisa dikhatamkan hanya dalam waktu singkat. Hal itu membuat Kiai Maghfur bangga, karena ternyata Akbar anak yang cerdas.

Masalah muncul saat Akbar tertarik dengan seorang gadis di pesantren. Gadis itu sangat cantik dan pintar. Hamidah,gadis idaman para santriwan itu adalah

Akbar memang paling jago dalam mendekati wanita. Tutur katanya yang manis membuat siapa pun perempuannya , akan hanyut terbuai. Namun, tatkala Akbar mengutarakan rasa cintanya, ia kerap ditolak dengan alasan kondisi fisiknya. Inilah yang membuatnya sakit hati. Tak ayal, ia kembali putus asa dengan mengutuk Tuhan yang tidak adil.

Perilaku buruk Akbar sulit dihilangkan. Saat ia galau dan gusar, pelampiasannya adalah mabuk bersama teman-teman preman kampung dekat pesantren.

Suasana pemakaman Brujulan sepe. Dingin menyusup ke pori-pori. Sementara itu, Akbar hanya diam dengan tatapan kosong, sembari memegangi batu nisan sebuah makam. Kepalanya menunduk sembari berucap, “Aku ingin mati, sebagaimana kalian yang sudah menghuni di alam kubur. Tidak sudi aku hidup jika harus mengalami kegagalan bertubi-tubi. Jemputlah aku, jemputlah....” suaranya lirih, tidak berteriak seperti sebelumnya.

“sesungguh tidak ada gunanya ilmu yang saya dapatkan dari kiai. Tidak ada gunanya aku mengkhatamkan jalalain. Sesungguhnya Tuhan sama sekali tidak berbelas kasih terhadapku.

Akbar yang depresi pun melakukan hal-hal yang tidak wajar. Terbukti, ia mabuk dan berteriak histeris di kuburan, menghujat dan memaki-maki Tuhan, bahkan ia ingin mati.

Kondisi Akbar yang tiba-tiba lumpuh tanpa sebab yang jelas membuktikan bahwa kewenangan Tuhan tetap di atas segalanya. Zaid menyakini semua itu sebagai peringatan bagi siapa pun, tanpa kecuali.

Zaid, salah satu asisten Kiai Manghfur yang ditugaskan untuk mengurus semua santri yang ada di pesantren. Sebelum menjadi santri di pesantren tersebut, Zaid adalah mantan narapidana yang kenakalanya jauh lebih mengerikan. Kemudian ia menjadi santri di pesantren Kiai Mangfur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline