Lihat ke Halaman Asli

Leonardo

Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesa

Mahkamah Konstitusi: Mendobrak Keterbatasan 'Logika'

Diperbarui: 23 Juli 2023   23:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam sebuah perjalanan minibus dari Bekasi ke Bandung, seorang laki-laki paruh baya menyapa saya. Layaknya perkenalan awal, ia melontarkan berbagai ungkapan basa-basi. Namun, seiring berjalannya waktu, perbincangan kami mulai mendalam.

Kebetulan, sebelum ia menyapa, saya sedang mengikuti kelas mata kuliah psikologi kognitif secara daring. Dalam kesempatan tersebut, saya bertanya kepada dosen mengenai pengaplikasian psikologi kognitif dalam ranah hukum. Rupanya, laki-laki paruh baya tersebut mendengar dan mengungkit hal tersebut dalam pembicaraan kami.

Menurut pengakuannya, ia mengklaim bahwa dirinya adalah "orang hukum". Entah apa yang dimaksud dengan istilah tersebut, namun berbagai pernyataannya mengenai prinsip hukum membuat saya meragukan klaim tersebut. Salah satu pernyataan yang ia lontarkan, yaitu bahwa pertanyaan saya tadi dan segala perselisihan hukum dapat dijawab dengan logika semata. Merasa tidak nyaman dengan hal ini, saya kemudian mengajaknya untuk melakukan eksperimen pikiran:

"Ada tiga bola yang digelindingkan pada tiga lintasan menurun: Lintasan A (30 cm); Lintasan B (40 cm); dan Lintasan C (50 cm). Bola manakah yang akan menyentuh tanah terlebih dahulu?"

Sesuai dengan ekspektasi, ia menjawab lintasan A. Logikanya, lintasan terpendek akan membuat bola lebih cepat menyentuh tanah. Namun, jawaban tersebut saya bantah dengan menunjukkan sebuah video bahwa bola pada lintasan C lebih dulu menyentuh tanah. Sebab, panjang lintasan bukan menjadi satu-satunya aspek yang menentukan. Terdapat banyak aspek lain, seperti kelengkungan/kemiringan, massa/jenis bola, dll. 

Cerita ini mengajarkan kepada kita bahwa logika manusia terbatas dalam memahami sesuatu. Hal yang sama juga juga terjadi dalam memahami persoalan hukum. Logika dan akal sehat yang kerap kali dipuji ternyata gagal dalam memahami kompleksitas hukum dan konstitusi. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga untuk mendobrak keterbatasan logika, yaitu Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Lalu, bagaimana MKRI dapat menjadi pendobrak keterbatasan logika?

Logika kerap kali dipersepsi sebagai fondasi dalam berpikir. Istilah lain untuk menyebutnya ialah akal sehat yang dipuji sebagai solusi sapu jagat dari semua permasalahan. Padahal, logika dibangun melalui sesuatu yang lebih mendasar lagi, yaitu pengetahuan. Sebab, logika merupakan sintesis dari pengetahuan. Kurangnya pengetahuan menyebabkan dangkalnya logika. Alih-alih menjadi solusi permasalahan, logika yang dangkal hanya akan menjadi suatu bentuk keangkuhan.

Sebagai bidang yang menyangkut hajat hidup orang banyak, hukum tidak dapat didasarkan hanya pada logika semata. Sebelum berlogika, lembaga-lembaga hukum hendaknya memiliki pengetahuan hukum yang mumpuni. Pengetahuan ini terdiri dari teori, konsep, dan sifat dasar hukum, sesuatu yang menjadi bidang kajian khas para ilmuwan hukum. 

Namun, demokrasi memungkinkan lembaga-lembaga hukum positive legislature (legislatif dan eksekutif) dipilih secara inklusif dan terbuka. Masalahnya, tingkat pemilih rasional di Indonesia masih cenderung rendah. Alih-alih kompetensi, aspek lain seperti popularitas lebih menentukan tingkat keterpilihan kandidat. Oleh sebab itu, lembaga-lembaga tersebut umumnya diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki latar belakang hukum. Padahal, penyusunan hukum perundang-undangan menjadi tanggung jawab mereka. Pada situasi ini, pihak-pihak tersebut hanya menjadi praktisi hukum tanpa dibekali teori ilmu hukum yang mumpuni.

Tentu, kondisi ini menyimpan sebuah potensi bahaya. Sebab, seperti cerita pada awal tulisan ini, logika yang dimiliki antara praktisi dan praktisi-akademisi dapat berbeda secara signifikan. Logika praktisi yang terbatas hanya akan menimbulkan kebijakan dan peraturan yang bias. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi menjadi pendobrak keterbatasan logika para praktisi.

Berbeda dengan lembaga-lembaga lainnya, lembaga yudikatif -khususnya Mahkamah Konstitusi- terdiri dari pihak-pihak yang memiliki latar belakang hukum mumpuni. Kesembilan hakim konstitusi menjadi manifestasi atau perwujudan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Mereka menjamin tegaknya prinsip supremasi konstitusi dalam negara demokrasi. Melalui eliminasi terhadap produk-produk hukum yang bertentangan atau keluar dari koridor, Mahkamah Konstitusi menjamin hak-hak konstitusional warga negara .

Oleh karena itulah, tanpa mengabaikan kewenangan-kewenangan lain, uji materi (judicial review) menjadi hal yang paling banyak disorot oleh publik. Kesimpulan dan keputusan yang dibuat hakim dalam uji materi pertauran perundang-undangan sangat menentukan persepsi dan kepuasan publik terhadap kinerja lembaga ini. Sebab, Mahkamah Konstitusi menjadi harapan terakhir bagi rakyat terhadap keadilan produk-produk hukum. Sebab, seyogyanya seorang hakim harus mengutamakan keadilan dibanding kepastian hukum. Walaupun tidak dapat diabaikan begitu saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline