"Admin K, Do Your Magic"
Begitu komen dari Mbak Ayu, salah seorang sahabat di Kompasiana pada salah satu artikel yang aku tulis beberapa hari lalu.
Kalimat ini tiba-tiba membuatku teringat atas keajaiban yang terjadi di bulan Mei '98, dua puluh empat tahun lalu.
Hari itu, 12 Mei 1998, aku dan beberapa sahabatku baru selesai mengajar di Trisakti. Kuliah dari tahun pertama selalu bersama hingga lulus dan lanjut mengajar di Trisakti membuat persahabatan kami cukup erat.
Mahasiswa banyak yang berdemo di luar kampus, menuntut presiden untuk turun. Suasana cukup menegangkan. Kami memutuskan untuk pulang karena kebetulan sesi mengajar hanya satu kelas.
"Tunggu bentar Wi", Ari tiba-tiba berlari ke arah mobilnya untuk mengambil mukenah yang biasa dia pakai untuk shalat di kampus. Langsung dimasukkannya ke dalam tasku. "Loh, untuk apa Ri?" aku bertanya kebingungan. "Untuk jaga kamu, mata sipit mu itu gak bisa bohong, nanti kalo di jalan ada apa-apa, bilang bahwa iya kamu Cina, tapi kamu Muslim. Bilang kamu Mualaf."
"Lho, ya gak usah Ri, kan aku bukan Muslim, lagian katamu itu mukenah Mamakmu kan."
Tapi percuma untuk untuk protes, kekhawatiran Ari atas keselamatanku menular pada sahabat-sahabat yang lain. Mereka bahkan menuliskan kalimat Syahadat di secarik kertas dan memintaku menghafalkannya.
Sebegitu besar rasa sayang dan kekhawatiran mereka atas keselamatanku. Sementara aku sendiri terbingung-bingung. Segenting inikah keadaannya? Belum pernah aku lihat mereka sekhawatir itu.
Tapi dasar aku yang kurang peka dengan situasi, bukannya pulang, malah aku lanjut ke tempat keramik di daerah Jakarta Pusat. Di sana aku mengolah beberapa keramik, hingga suamiku dan sepupunya datang menjemput.
Saat itu sudah terdengar berita adanya penembakan kepada beberapa mahasiswa Trisakti. Situasi semakin panas.
Kami bergegas pulang, melalui jalan tol, sepanjang jalan tol, jalanan terbilang lancar. Hingga keluar pintu tol, memasuki area Lingkar Luar Barat. Di sana mulai tersendat. Padat merayap.
Masih tidak ada prasangka apa-apa, kami berkendara di tengah kepadatan. Tapi makin ke tengah, mulai terlihat orang-orang bergerombol dengan muka beringas, mengetuk kaca mobil di depan.