Lihat ke Halaman Asli

Prajna Delfina Dwayne

Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan tahun 2022. Saat ini bekerja sebagai Legal Manager and Government Relationship di Rekosistem, perusahaan pengelolaan sampah berbasis teknologi.

Pendidikan Anak Indonesia

Diperbarui: 4 Juni 2024   23:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi

9 April 2024, Jakarta Selatan


Hari ini kuhabiskan waktu setengah hari bersama mentorku (Nicky Fahrizal - Peneliti CSIS). Dari makan siang di Bakmi Sinar Utama, ngopi di Tuang - Barito, sampai dengan makan bubur dan nasi campur di Kaca Mata Grand Wijaya.

Selama itu kami banyak berdiskusi tentang pedagog - metodologi yang digunakan para guru atau calon guru yang sedang atau sudah menempuh pendidikan (S.Pd).

Berawal dari pembicaraan tentang pendidikan di sekolah waktu masih di Palembang yang dulu cukup diskriminatif. Kebetulan aku dan Nicky sempat bersekolah di salah satu sekolah yang sama. Nicky bercerita bahwa ia dulu pernah disebat (dipukul dengan penggaris kayu panjang) gara-gara berisik di kelas.

Saat gurunya melontarkan pukulan ke kakinya, penggaris tersebut patah. Gurunya minta anak terpintar di kelas untuk mengambil penggaris baru ke bagian alat tulis di bawah.

Dari sanalah terbesit pikiranku bahwa anak-anak sudah ditunjukkan atau diberi contoh oleh gurunya untuk bersikap diskriminatif. Kenapa yang dihukum selalu yang nakal? padahal anak nakal belum tentu salah dan anak pintar juga bisa dan berpotensi untuk berbuat salah. Mengapa anak yang pintar selalu dielu-elukan dan dianak emaskan, padahal semua murid berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Siapapun yang melakukan hal benar patut diapresiasi dan yang salah atau melanggar patut untuk diberi pelajaran.

Kemudian ada lagi contoh sikap diskriminatif sekolah yang membuat pandangan anak IPA adalah lebih pintar dibandingkan anak IPS, apalagi Bahasa. Padahal, kecerdasan manusia itu beranekaragam. Dari kemampuan berhitung, menggambar, bermusik, bertutur kata, beretorika, sampai dengan bercocok tanam dan merawat hewan/binatang.

Cukup sering kutemui "anak berkebutuhan khusus", bukan karena ia terlahir spesial. Tapi karena lingkungannya tidak baik dan tidak mendukung anak-anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara ideal. (Saya tidak mengatakan harus sempurna).

Contoh, anak yang kedua orangtuanya bekerja lebih dari 8 jam sehari sehingga hanya tinggal dengan pembantu yang selalu dipaksa untuk menuruti segala keinginan sang anak. Sehingga sang anak tidak punya kontrol atas keinginan / nafsu pribadi dan kurang perhatian. Padahal kita juga ga bisa memberikan beban 100% pada orang tua. Karena "it takes a village to raise a child".

Kalau dipikir-pikir, mayoritas guru di Indonesia itu cuma lulusan S1 pendidikan atau bahkan sarjana muda. Sering mengikuti pelatihan yang diadakan setiap tahun atau semester yang diadakan oleh sekolah untuk dapat mengikuti kurikulum yang terbaru dari kemendikbud. Tapi pengalamannya kurang. Akibatnya, pelajaran di kelas pun jadi kurang menarik.

Makanya aku bilang ke Nicky, kalau ada kesempatan yang terbuka atau ada yang membutuhkan, aku bersedia untuk jadi guru, mentor, narasumber kuliah umum atau apapun itu yang memberikanku kesempatan untuk bisa sharing pengalaman. Aku harus mempersiapkan diri mulai dari sekarang agar layak dan pantas untuk dapat membagikan pengalaman dan pengetahuan tersebut ke orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline