Lihat ke Halaman Asli

Rerjalanan Rohim (Part 3) Rohim Menangis

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sabtu, 28 juli 2012

Terlihat wajah gembira Rohim ketika sampai di Pesantren Raudhatul Ulum Gondang Legi, kabupaten malang. Senyum simpulnya menandakan dia sangat senang karena akan bersekolah lagi, punya tempat tinggal dan tidak mengamen lagi seperti saat dia masih sering dijalanan. Saya (nizar), anam, angga, sylfi dan tentunya rohim baru saja sampai di pesantren raudhatul ulum jam 15.30 WIB. Setelah menempuh 1 jam perjalanan dari Malang.

Sebelum berangkat, barang-barang rohim sudah dipersipakannya terlebih dahulu dan sudah tertata dengan rapi. Yah, sejak pagi memang rohim sudah mempersiapkan segala hal yang akan dibawanya ke pesantren. Semulanya memang saya dan teman-teman berniat mengantar rohim ke pesantren jam 10 pagi namun saat mau berangkat kami mendapat kabar bahwa ustadzahnya sedang mengajar dan sebaiknya kami berangkat dari malang sekitar jam 2 siang. Dan akhirnya kami baru bisa berangkat jam 14.30.

Walau cuacanya sangat panas disiang bolong, perjalanan lumayan jauh dan kami sedang menjalankan puasa ramdhan tapi kami tetap semangat mengantar rohim ke pesantren. Karena semangat rohim untuk bersekolah membuat kami juga semangat untuk mengantrakan rohim dengan motor butut kami ke pesantren. Kami sangat senang rohim akan sekolah dan menimba ilmu agama di pesantren.

Saya (nizar), anam, angga, sylfi dan tentunya rohim langsung menuju rumah Ustadzah. Kami duduk diruang tamu yang cukup sederhana namun nyaman. Rohim sesekali tersenyum dan bercanda dengan kami. Dan setelah berbincang-bincang lumayan lama dengan ustadzah dan tiba saatnya dimana kami harus berpamitan pulang, wajah rohim langsung sedih, matanya mulai berair dan perlahan air matanya membasahi pipinya. Yah, rohim menangis. Rohim tidak ingin kami jauh darinya namun dia paham bahwa kami memang harus pulang sementara rohim harus tinggal di pesantren demi kebaikannya sendiri. Sebenarnya kami juga sedih dan kasian jika dia kami tinggalkan. Tapi, demi masa depan rohim kami tetap melangkahkan kaki dengan sangat berat untuk pulang ke Malang.

Dan kami sangat terharu ketika melihat rohim menangis. Dalam hati kami “bagaimana bisa rohim menangis karena kami yang bukan ibu atau bapaknya?? Bagaimana bisa rohim mengangis karena kami yang bahkan kehidupan yang dialami rohim lebih keras dan memilukan---sejak kecil tinggal denga budhe dan mendapatkan kekerasan fisik, ibunya tak mau mengrusi dia, ayahnya entah kemana, kemudian sempat hidup dijalanan dan sering mendapat perlakuan kasar dari temannya sesama anak jalanan yang lebih besar---dibandingkan dengan hanya kami tinggal pulang ke malang??? Bagaimana bisa rohim mengis karena kami bahkan kami tak pernah melihat dia menangis karena ibu bapaknya yang tak peduli dengan dia???”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline