Belakangan ini munculisu-isu politis terkait radikalisme Islam yang merupakan tantangan baru bagi umat Islam untuk menjawabnya. Isu radikalisme Islam sejatinya telah lama beredar di permukaan public internasional.Banyak label-label yang diberikan oleh kalangan Barat menyebut gerakan Islam radikal, dari sebutan kelompok garis keras, ekstrimis, militan, fundamentalisme sampai terorisme. Bahkan di negara-negara Barat pasca hancurnya ideologi komunis, pasca perang dingin, memandang Islam sebagai sebuah gerakan dari peradaban yang menakutkan. Tidak ada gejolak politik yang lebih ditakuti melebihi bangkitnya gerakan Islam yang diberinya label sebagai radikalisme Islam. Tuduhan-tuduhan dan propaganda Barat atas Islam sebagai agama yang menopang gerakan radikalisme telah menjadi retorika internasional.
Label radikalisme bagi gerakan Islam yang menentang Barat dan sekutu-sekutunya dengan sengaja dijadikan komoditi politik. Gerakan perlawanan rakyat Palestina, Revolusi Islam Iran, Partai FIS Al-Jazair, perilaku anti-AS yang dipertunjukkan Mu’ammar Khadafi ataupun Saddam Hussein, gerakan Islam di Mindanao Selatan, gerakan masyarakat Muslim Sudan yang anti-AS, merebaknya solidaritas Muslim Indonesia terhadap saudara-saudara yang tertindas dan sebagainya, adalah fenomena yang dijadikan media Barat dalam mengkampanyekan label radikalisme Islam. Tetapi memang tidak bisa dibantah bahwa dalam perjalanan sejarahnya terdapat kelompok-kelompok Islam tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan paham keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa peradaban global sering disebut kaum radikalisme Islam.
Menurut Rektor UIN Walisongo Semarang Muhibbin Noor mengatakan, peran perguruan tinggi (PT) dalam menangkal radikalisme sangat penting. Instansinya akan menerapkan kurikulum Islam moderat kepada para mahasiswa, bukan Islam yang kaku. Jadi kalau ada mahasiswa yang memang ke arah radikalisme maka akan kami ajak dialog. Adapun detail kurikulum itu, adalah pemberian pemahaman ke Islaman masuk dalam pembelajaran kampus sehari-hari. Ada pencerahan kepada mahasiswa tentang Islam yang kaffah, Islam yang memberikan teladan yang benar seperti yang diajarkan Walisongo.
Sedangkan, Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya mengatakan, pola yang dipakai oleh gerakan radikalisme sudah berubah, dari semula menggunakan tindakan kekerasan, berganti dengan cara merangkul atau persuasif. Dibutuhkan peran aktif masyarakat menangkal maraknya gerakan dan ajakan radikalisme. Masyarakat harus mengawasi ancaman ini di wilayahnya masing-masing. Kalau ada, segera dilaporkan, termasuk konten siaran di media yang mengajak tindakan radikalisme. Radikalisme yang mengarah terorisme harus dicegah sedini mungkin dan segera diambil tindakan, hal itu dilakukan agar gerakan tidak meluas kemana-mana hingga sulit penanganannya. Upaya menangkal radikalisme ini harus terkoordinasi dengan melibatkan semua kementerian dan lembaga, di samping polisi, TNI, BIN dan BNPT. Semua harus bersama-sama di bawah komando Presiden atau pejabat tinggi negara yang ditunjuk oleh Presiden.
Isu ISIS yang merangkul masyarakat dengan iming-iming tertentu, untuk menangkalnya tidak bisa hanya menjadi Kementerian Agama sendiri, hanya karena gerakan ISIS ada kaitan dengan persoalan agama tertentu. Kementerian Sosial juga harus terlibat, sebab iming-iming yang ditawarkan ISIS karena adanya kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat. Dengan demikian, kembali lagi peran aktif masyarakat sangat diperlukan, tidak bisa hanya mengandalkan lembaga pemerintah terkait, hal itu dinilai masih kurang, karena terbatasnya jumlah personel dan jangkauan.
Beberapa usaha yang dapat dilakukan demi menangkal gerakan radikalisme yang mengancam kehidupan dalam masyarakat. Pertama, menghidupkan kembali organisasi kepemudaan sebagai upaya untuk memberikan wadah kreatifitas para pemuda agar mereka terpantau dengan baik dan bakat mereka pun dapat tersalurkan. Kedua, menghidupkan budaya ilmiah di kalangan mahasiswa, karena salah satu obyek pencucian otak adalah kalangan mahasiswa, maka upaya untuk membentengi berkembangnya paham radikalisme di tengah-tengah perguruan tinggi antara lain memfasilitasi mahasiswa dengan mengadakan seminar, diskusi, yang bertemakan bahaya radikalisme, terorisme, dan sejenisnya.Ketiga, menanamkan pendidikan agama Islam (PAI) sejak dini, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di masyarakat. Penanaman PAI di tengah masyarakat dapat diupayakan dengan merevitalisasi kurikulum materi majelis taklim yang ada di masyarakat. Namun, upaya menangkal paham radikalisme di atas tidak akan dapat terwujud dengan baik tanpa ada kerja sama dari semua pihak, terutama dari pemerintah. Oleh karena itu, harus ada sinergitas antar pemangku kepentingan dan masyarakat bagaimana menekan kelompok yang menanamkan kekerasan sebagai jalan untuk mencapai tujuan, termasuk ingin mendirikan negara dengan mengganggu keutuhan NKRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H