Lihat ke Halaman Asli

Aku dan Angkot Nomor 19

Diperbarui: 15 Januari 2019   08:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku. Udah siang-siang keluar, janjian lama sama temen perempuan yang sudah berkeluarga. Kapan lagi ketemu? Kapan lagi nge-list rumpian sambil ngalor-ngidul? Sejak dia menikah, aku baru dua kali ketemu. Sekali pas dia lahiran, sekali lagi pas dia dirawat di rumah sakit karena jahitan caesarnya bermasalah. Kesempatan begitu mana bisa ngerumpi, iya kan? Waktunya cuma cukup untuk bilang 'cepet sembuh ya,' atau 'selamat ya, sekarang sudah jadi ibu'. Titik.

Ketemuan di mall hari ini sudah direncanakan dari jauh hari, biar kami bisa bareng ambil cuti buat ngobrol, makan dan jajan mata. Eh, ternyata dia gak bisa datang. Mendadak banget. Aku sudah sampe di mall dan nunggu sejam, dia baru kasih kabar.

"Ris, maaf kayaknya aku gak jadi datang hari ini. Anakku demam."

Hhh. Aku menghela nafas berat. Kecewa. Kan pengennya seneng-seneng hari ini. Kangen tau sama waktu-waktu yang dulu pernah dihabisin bareng. Seperti belum cukup, pas aku mau pesen ojek online, hp mati. Gak bawa set charger, pun powerbank. Mau nggak mau, aku harus naik angkot. Kebayang kan gimana mood-ku hari itu: kecewa, kesel, panas-panasan di angkot. Mana udah dandan cakep-cakep, pula. Hhh.

Angkot nomor 19 adalah angkot dengan rute terdekat ke apartemenku. Aku masuk ke angkot yang masih kosong. Hhh. Aku makin sebel. Artinya angkot gak langsung berangkat, harus nunggu entah berapa lama dulu sebelum abang supir memutuskan kapan waktunya berangkat.

Setelahku, seorang bapak dan puteranya masuk. Okesip, berarti kemungkinan angkot berangkat lebih cepat semakin tinggi. Sambil menunggu penumpang lain, aku memperhatikan bapak dan anak yang baru masuk tadi. 

Sang bapak membawa plastik agak besar yang isinya mainan dan tas gendong hijau bertuliskan 'BEN10' yang resleting kantong luarnya sudah rusak dan ditambal peniti berkarat. Sesekali si anak mengintip kedalam plastik bertuliskan 'Toys Kingdom' itu. Dua-duanya memancarkan garis wajah gembira, terbalik denganku.

Dari pembicaraan yang kudengar, mereka adalah bapak dan anak. Keduanya tidak lepas berpegangan tangan. Keduanya mirip: berkepala plontos, menggunakan baju dan celana berukuran kebesaran, dan alas kaki yang sudah agak aus. 

Sesekali, sang bapak memegangi dahi anaknya, dan berkali menawarkan untuk gantian mengenakan topi hitam yang mulai memudar dengan bordir sebuah organisasi di bagian kanan-kirinya. Dari obrolan mereka yang sediki-sedikit, bisa kutangkap bahwa sang bapak telah menabung dan menepati janji pada anaknya membeli mainan yang diinginkan. 

Bukan rahasia jika mainan di Toys Kingdom harganya lebih mahal dibandingkan pasar atau toko mainan pinggir jalan. Aku tidak tau berapa harga mainan yang dibelinya, tapi jelas sang ayah sungguh-sungguh menabung untuk bisa mendapatkannya.

Ngomong-ngomong, hari ini adalah hari kerja. Jadi harusnya si anak masuk sekolah, begitu pikirku. Lalu kenapa anak ini tidak masuk sekolah? Ternyata, alasan kenapa sang bapak terus memegangi dahi si anak adalah karena bocah yang sedang bersandar pada bapaknya ini sedang sakit. Dan sang bapak mengkuatirkannya dan berkata 'padahal kita bisa beli mainannya nanti kalo kamu sudah sembuh'. Si anak cuma geleng-geleng lemah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline